BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya raya. Potensi kekayaan
alamnya sangat luar biasa, baik sumber daya alam hayati maupun non hayati. Bisa
dibayangkan, kekayaan alamnya mulai dari kekayaan laut, darat, bumi dan
kekayaan lainnya yang terkandung di dalam bumi Indonesia tercinta ini mungkin
tidak bisa dihitung. Apabila dilihat secara geografis,dari sabang sampai
merauke, terbentang tidak sedikit pulau yang ada di Indonesia. Dengan pulau
besar, mulai pulau jawa, sumatra, kalimantan, sulawesi serta Irian Jaya. Namun
disamping itu,terdapat pula ribuan pulau yang mengelilingi alam Indonesia. Oleh
karena itu, Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan alam
yang sangat besar.
Lain dari pada itu, kekayaan Indonesia tidak sekadar
terbatas pada kekayaan hayatinya, tetapi juga non hayatinya. Aneka bahan
tambang terkandung di dalam perut bumi Indonesia. Diantaranya, minyak bumi,
batubara, gas alam, dan sebagainya. Akan tetapi, aneka bahan tambang tersebut
merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.
Indonesia adalah negara bahari yang memiliki kekayaan tak
terhingga diperairannya. Selain di laut, sungai yang ada di Indonesia juga
memiliki kandungan kekayaan alam yang melimpah.
Sekian banyak tokoh yang ada di Indonesia baik yang
dikenal maupun yang tidak tentunya banyak pelajaran dan hikmah yang dapat kita
ambil. Seiring berjalannya waktu, para tokoh yang telah berjasa di Indonesia
banyak yang terlupakan, bahkan ajaran dan peran sertanya banyak yang diabaikan.
1.2 Rumusan Masalah
Dilihat
dari latar belakang diatas adapun rumusan masalahnya, yaitu :
1.
Sungai apakah yang
ada di kalimantan?
2.
Kesultanan apakah yang ada di Kalimantan?
3.
Kota apakah yang ada di Kalimantan?
4.
Hasil tambang dan hasil bumi apakah yang terdapat di
Kalimantan?
5.
Siapakah tokoh-tokoh muslim yang berperan di Kaimantan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.3.1. Tujuan
Penulisan
Tujuan utama pembuatan makalah ini untuk memenuhi nilai
mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia III. Selanjutnya untuk memaparkan
tentang sungai, kota, kesultanan, hasil bumi dan hasil tambang, serta tokoh
yang ada di Kalimantan.
1.3.2. Manfaat
Penulisan
Adapun
manfaat dari penulisan makalah ini adalah penulisan dan pembaca lebih memahami
mengenai sungai, kota, kesultanan, hasil bumi dan hasil tambang, serta tokoh
yang ada di Kalimantan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sungai Barito
Sungai Barito atau sungai Dusun (atau disebut juga sungai
Banjar Besar atau Sungai Banjarmasin pada bagian hilirnya) adalah wilayah di
sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barito. Nama Barito diambil berdasarkan
nama daerah Barito (dahulu Onder Afdeeling Barito) yang berada di hulu termasuk
wilayah provinsi Kalimantan Tengah, tetapi sering dipakai untuk menamakan
seluruh daerah aliran sungai ini hingga ke muaranya pada Laut Jawa di
Kalimantan Selatan yang dinamakan Muara Banjar/Kuala Banjar.
2.1.1 Karakteristik Sungai Barito
Sungai barito yang berhulu dari kaki pegunungan Muller
hingga mencapai muaranya di Laut Jawa, panjang Sungai Barito mencapai 909 km,
dengan lebar antara 650 m hingga mencapai 1000 m yang menjadikan Barito sebagai
sungai terbesar di Indonesia.
Dalam Hikayat Banjar, sungai Barito disebut juga Sungai
Banjar (Banjar river) dan ada juga yang menyebutnya Sungai Cina (China river)
karena banyaknya aktivitas pedagang Tionghoa di sungai ini pada zaman dahulu[1].
Sendimentasi atau pendangkalan di sungai Barito semakin
parah akibat semakin meluasnya alih fungsi lahan dari hutan tropis/hutan bambu
menjadi lahan kelapa sawit/karet serta berkurangnya tutupan lahan di Kalimatan
Selatan dan Kalimantan Tengah.
Sungai yang terbesar dan terpanjang di Kalimantan Selatan
adalah Sungai Barito. Hulu sungai Barito berada di pegunungan Schwaner, membujur
dari wilayah Kalimantan Tengah di bagian utara Pulau Kalimantan hingga bermuara
di Laut Jawa, sepanjang kurang lebih 1.000 kilometer. Lebar Sungai Barito
rata-rata antara 650 hingga 800 meter dengan kedalaman rata-rata 8 meter[2].
Lebar sungai pada bagian muara yang berbentuk corong mencapai 1.000 meter,
sehingga sungai Barito merupakan sungai terlebar di Indonesia. Bagian
terpanjang dari Sungai Barito mulai dari hulu sungai terletak di wilayah
Kalimantan Tengah, sedangkan sisanya sampai ke muara sungai berada di wilayah
Kalimantan Selatan.
Kalimantan Selatan termasuk ke dalam wilayah kepulauan
bercirikan sejumlah besar sistem sungai yang mengalir dari daerah pedalaman ke
lautan. Menurut Hall, keadaan seperti itu merupakan sebuah keistimewaan yang
membawa pengaruh signifikan terhadap perkembangan sosial dan ekonomi daerah
bersangkutan. Dari waktu ke waktu orang bermukim di antara berbagai sistem
sungai itu, sehingga terjadi konsentrasi penduduk di daerah delta yang luas di
mulut sungai[3].
Begitu pentingnya arti jaringan sungai, sehingga para
penguasa wilayah selalu berusaha untuk mengontrol seluruh jaringan sungai yang
ada di dalam wilayah kekuasaan mereka demi untuk mengimplementasikan hegemoni
politik mereka. Meskipun demikian, tidak mudah untuk melakukan kontrol ekonomi
secara langsung terhadap penduduk yang bermukim di hulu sungai dan para
pendatang di pantai. Oleh karena itu biasanya penguasa wilayah mengandalkan
kekuatan fisik maupun pembentukan aliansi untuk menguasai daerah pedalaman.
2.1.2 Sungai Barito dan Sejarahnya (Kesultanan, Hasil Bumi dan
Tambang, Kota, dan tokoh)
Berdasarkan beberapa naskah Hikayat Banjar dan naskah
kuno lainnya diketahui sungai ini dahulu disebut juga Sungai Banjar khususnya
yang berada di hilir dekat kampung Banjar-Masih (sekarang Kuin Utara,
Banjarmasin) sampai ke hulu pada kota Marabahan, sebab di kota ini sungai
tersebut bercabang dua anak sungai yaitu Sungai Barito dan Sungai Nagara/Sungai
Bahan. Wilayah daerah aliran Sungai Nagara/Sungai Bahan inilah yang oleh
kesultanan Banjar dinamakan wilayah Hulu Sungai atau Banjar Hulu. Sedangkan
daerah aliran sungai di hulu kota Marabahan sering dinamakan daerah
Barito/Tanah Dusun atau pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda
merupakan Onder Afdeeling Barito yang beribukota di Muara Teweh (sekarang
ibukota Barito Utara).
Wilayah Barito ini dalam Kitab Negarakertagama disebutkan
sebagai salah satu daerah taklukan kerajaan Majapahit yang berada di pulau
Tanjung Negara di samping daerah tetangganya yaitu Sungai Tabalong (sungai
Negara). Diduga pada jaman dahulu kala kedua anak sungai tersebut masih
terpisah karena bagian hilir sungai besar ini belum terbentuk tetapi karena
aliran endapan lumpur ke arah muara menyebabkan kedua anak sungai itu akhirnya
menyatu dalam satu Daerah Aliran Sungai.
Sejalan dengan pendapat Hall, penduduk Kalimantan Selatan
pada abad XIX pada umumnya memang terkonsentrasi di mulu-mulut sungai atau di
wilayah pertemuan dua sungai. Sungai merupakan bagian tak terpisahkan dari
kehidupan sehari-hari penduduk di wilayah ini. Sebagian besar sungai di
Kalimantan Selatan dapat dilayari. Salah satu sungai terpanjang dan terbesar
adalah sungai Barito (disebut juga sungai Dusun) yang menjadi tempat
bermuaranya beberapa sungai utama di Kalimanatan Selatan, seperti Sungai Martapura
dan Sungai Negara. Sungai-sungai tersebut beserta seluruh anak sungainya
merupakan jaringan prasarana perhubungan dan pengangkutan yang sangat penting
bagi penduduk karena masing-masing sungai mengalir melalui ibukota-ibukota
kabupaten yang ada di Kalimantan Selatan.
Kota Banjarmasin dan Martapura dilalui oleh Sungai
Martapura, Rantau dilalui oleh Sungai Tapin, Kandangan dilalui oleh Sungai
Amandit, Barabai dilalui oleh Sungai Tabalong, Sungai Balangan dan Sungai
Negara, Tanjung dilalui oleh sungai Tabalong[4].
Sejak jaman dahulu jaringan sungai merupakan prasarana transportasi yang
mendukung aktivitas ekonomi maupun sosial penduduk Kalimantan Selatan. Lebih
dari itu, jaringan sungai telah menjadi urat nadi perekonomian penduduk karena
sebagian besar aktivitas ekonomi mereka dilakukan melalui dan di atas sungai.
Hubungan antar daerah-daerah di wilayah pedalaman Kalimantan Selatan dengan
ibukota dan pelabuhan Banjarmasin terutama juga dilakukan lewat sungai,
sehingga sungai menjadi andalan bagi kelancaran distribusi barang maupun orang
dari wilayah hulu ke wilayah hilir dan sebaliknya.
Berbagai jenis hasil hutan, hasil tambang, dan hasil bumi
yang melimpah di daerah pedalaman Kalimantan Selatan seperti kayu, karet, getah
perca, rotan, damar, jelutung, lilin, batubara, emas, lada, sarang burung,
bahan anyaman, ikan kering/asin, dendeng rusa, buah-buahan, dan lain-lain
diangkut ke tempat-tempat pengumpulan atau pelabuhan melalui jaringan sungai
yang ada. Sebaliknya berbagai barang kebutuhan sehari-hari penduduk Kalimantan
Selatan seperti beras, gula, garam, tepung, jagung, minyak kelapa, tembakau,
gambir, gerabah dan alat-alat rumah tangga, kawat tembaga, serta bahan pakaian
(kain lena) dan sebagainya juga diangkut dari pelabuhan Banjarmasin ke berbagai
daerah di wilayah pedalaman melalui jaringan sungai tersebut.
Sungai Barito di Kalimantan Selatan mempunyai dua anak
sungai penting yaitu Sungai Martapura dan Sungai Negara. Dua anak sungai Barito
ini selanjutnya mempunyai berbagai cabang sungai yang semuanya dapat dilayari
sehingga membentuk sebuah jaringan transportasi sungai yang padat karena
menghubungkan daerah-daerah di pedalaman dengan kota pelabuhan. Sungai
Martapura memiliki tiga cabang sungai, yaitu Sungai Alalak, Sungai Riam Kiwa
(Kiri), dan Sungai Riam Kanan. Sementara itu Sungai Nagara memiliki banyak
cabang sungai, di antaranya yang terpenting adalah Sungai Amandit, Sungai Tapin
(Sungai Margasari), Sungai Berabai, Sungai Balangan, Sungai Batang Alai, Sungai
Tabalong, dan Sungai Tabalong Kiwa (Kiri). Sungai Amandit mempunyai dua cabang
sungai, yaitu Sungai Bangkan dan Sungai Kalumpang, sedangkan Sungai Tapin
mempunyai empat cabang yaitu Sungai Muning, Sungai Tatakan, Sungai Halat, dan
Sungai Gadung.
Sungai-sungai seperti disebutkan di atas sebagian besar
berfungsi sebagai prasarana lalu lintas orang dan barang. Sungai Barito dapat
dilayari oleh kapal danperahu besar sampai sejauh kurang lebih 700 kilometer ke
arah hulu, Sungai Martapura sampai sejauh 45 kilometer, Sungai Negara sejauh
125 kilometer, Sungai Tabalong sejauh 42 kilometer, dan Sungai Balangan sampai
sejauh 40 kilometer. Sungai-sungai lainnya dapat dilayari dengan berbagai jenis
perahu kecil. Untuk memperpendek jarak antara daerah satu dan lainnya di
wilayah Kalimantan Selatan juga banyak dibangun terusan atau kanal yang dalam
bahasa setempat disebut antasan atau anjir. Antasan dibangun terutama untuk
memperpendek jarak dengan cara menghubungkan dua saluran air, sungai atau danau
yang sudah ada sebelumnya.
Agak berbeda dengan antasan, pembuatan anjir pada awalnya
berkaitan dengan kepentingan bidang pertanian, yaitu untuk memperlancar
irigasi. Namun dalam perkembangannya anjir juga dimanfaatkan sebagaimana
antasan, yaitu sebagai jalan pintas yang menghubungkan dua buah sungai. Lebar
antasan dan anjir pada umumnya antara 20 sampai 35 meter dengan kedalaman air
sekitar tiga meter. Dengan kedalaman kurang dari lima meter maka antasan dan anjir
memang hanya dapat dilalui kapal atau perahu berukuran sedang dan kecil.
Kecuali antasan dan anjir, penduduk di pedalaman Kalimantan kadang juga membuat
handil, yaitu semacam kanal yang dibuat untuk menghubungkan daerah produsen
tanaman perdagangan dengan sungai yang dapat dilayari.
Wilayah kabupten-kabupaten yang sekarang termasuk dalam
bagian Kalimantan Tengah di sepanjang Sungai barito ini, dahulu termasuk dalam
Onder Afdeeling Barito (bagian dari Afdeeling Kapuas Barito), sekarang sudah
berkembang menjadi 4 kabupaten di Kalteng yaitu Barito Selatan, Barito Utara,
Barito Timur dan Murung Raya. Wilayah ini sekarang sedang berjuang untuk
membentuk provinsi Barito Raya, di mana gerakan ini berakar dari pemikiran para
penduduk di sepanjang DAS Barito dalam bidang sosial politik, untuk meminta
perhatian yang lebih serta untuk mendapatkan pembagian yang lebih berimbang dan
pemberian akses-akses ekonomi atas kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh
daerah-daerah yang berada di sepanjang DAS Barito.
Namun seiring waktu berjalan, ternyata ada banyak pro dan
kontra sehubungan dengan pemekaran ini. Karena bagaimanapun juga, catatan
sejarah menunjukkan bahwa daerah Barito merupakan bagian integral dari Daerah
Dayak Besar. Dan, salah satu tokoh sejarah dari Barito GMTPS (Gerakan Mandau
Talawang Pantjasila), Christian Simbar a.k.a "Uria Mapas", merupakan
salah satu tokoh yang paling berjasa dalam pembentukan Kalimantan Tengah,
bahkan pada mulanya ibukota Kalimantan Tengah direncanakan terletak di Muara
Teweh di hulu sungai Barito.
Bagian hilir dan muara dari DAS Barito pada jaman dahulu
disebut Pulau Bakumpai adalah wilayah kabupaten Barito Kuala, Kalimantan
Selatan. Barito Kuala merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Banjar. Pada
masa Hindia Belanda wilayah kabupaten Barito Kuala termasuk Afdeeling
Bandjarmasin/Afdeeling Kuin.
Selain suku Banjar, pada umumnya penduduk yang tinggal di
sepanjang sungai Barito adalah dari etnik kategori Barito Isolec atau suku
Dayak dengan penuturan bahasa Barito seperti Dayak Murung, Dayak Siang, Dayak
Maanyan, Dayak Bawoo, Dayak Dusun, dan Bakumpai.
Ketika Perang Banjar berlangsung, setelah Pangeran
Hidayatulah ditangkap Belanda dan dibuang ke Cianjur, pusat perlawanan
dipindahkan Pangeran Antasari sebagai pemimpin tertinggi Kerajaan Banjar ke
hulu Sungai Barito, yaitu di sekitar Muara Teweh dan Puruk Cahu. Selain
Pangeran Antasari, tersebut juga beberapa pejuang lainnya seperti Sultan
Muhammad Seman, Panembahan Muda (Pangeran Muhammad Said), dan Ratu Zaleha.
Tokoh pejuang dalam perlawanan masyarakat Barito yang lain adalah Panglima
Wangkang, Tumenggung Surapati, Panglima Batur dan Haji Matalib.
2.2 Sungai Kapuas
Sungai Kapuas atau sungai batang Lawai (Laue) merupakan
sungai yang berada di Kalimantan Barat[5].
Sungai ini merupakan sungai terpanjang dipulau Kalimantan dan sekaligus menjadi
sungai terpanjang di Indonesia dengan panjang total 1.178 km.
2.2.1 Karakteristik Sungai Kapuas
Sungai Kapuas yang lain juga terdapat di provinsi
Kalimantan Tengah, tepatnya di Kabupaten Kapuas. Sungai ini membentang
sepanjang kurang lebih 610 km, dari kecamatan Kapuas Hulu sampai kecamatan
Selat yang akhirnya bermuara dilaut Jawa.
Sungai Kapuas merupakan rumah dari lebih 700 jenis ikan
dengan sekitar 12 jenis ikan langka dan 40 jenis ikan yang terancam punah.
Potensi perikanan air tawar di sungai Kapuas adalah mencapai 2 juta ton. Hutan
yang masih terlindungi dengan baik menyebabkan sungai Kapuas terjaga
kelestariannya.
Namun , belakangan ini sungai Kapuas telah tercemar logam
berat dan berbagai jenis bahan kimia, akibat aktivitas penambangan emasdan
perak di bagian tengah sungai ini. Walaupun telah mengalami pencemaran oleh
logam berat, Sungai Kapuas tetap menjadi urat nadi bagi kehidupan masyarakat
(terutama suku Dayak dan Melayu di sepanjang aliran sungai). Sebagai sarana
transportasi yang murah, Sungai Kapuas dapat menghubungkan daerah satu ke daerah
lain di wilayah Kalimantan Barat, dari pesisir Kalimantan Barat sampai ke
daerah pedalaman Putussibau dihulu sungai ini .
Dan selain itu, sungai Kapuas juga merupakan sumber mata
pencaharian untuk menambah penghasilan keluarga dengan menjadi nelayan/penangkap
ikan secara tradisional. Sosial Budaya masyarakat Sungai Kapuas perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengingat pesatnya kemajuan teknologi dan informasi
dapat memengaruhi pola berpikir masyarakat di sekitar aliran sungai Kapuas.
2.2.2 Sungai Kapuas dan Sejarahnya (Kesultanan, Hasil Bumi dan
Tambang, Kota, dan tokoh)
Kesultanan Kadriah Pontianak didirikan pada tahun 1771
oleh al-Sayyid Syarif 'Abdurrahman al-Kadrie, keturunan Rasulullah dari Imam
Ali ar-Ridha. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan
putri dari Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri Kesultanan Banjarmasin
(Ratu Syarif Abdul Rahman, puteri dari Sultan Sepuh Tamjidullah I). Setelah
mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadariah dan
mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
Kalimantan Barat yang berpenduduk 3,27 km menempati
wilayah seluas 146.807 km mempunyai kepadatan rata-rata 25 jiwa/kilometer
persegi. Propinsi Seribu Sungai ini sangat didominasi denngan transportasi
airnya didukung keberadaan sungai-sungai besar di propinsi tersebut.
Julukan ini selaras dengan kondisi geografis Propinsi
Kalimantan Barat yang mempunyai ratusan sangat besar dan kecil diantaranya
dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai besar saat ini masih merupakan urat
nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun prasarana jalan
darat telah dapat menjangkau sebagaian besar kecamatan. Sungai besar utama
adalah Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia yaitu 1.806
km yang mana sepanjang 942 km dapat dilayari.
Wilayah Kalimantan Barat banyak dialiri sungai dan anak
sungai, hal ini yang menyebabkan angkutan sungai dapat menjangkau ke
tempat-tempat yang relatif jauh dari pusat kota. Karena itu pula angakutan
sungai/danau/pedalaman sangat penting perannya untuk menjamin kelancaran
kegiatan ekonomi dan masyarakat lainnya.
Banyak jenis kendaraan pedalaman yang dikenal di Kalbar
antara lain sampan/perahu, bandung, tongkang dan beberapa jenis kendaraan
lainnya baik bermesin maupun tidak. Akan tetapi jumlah kendaraan ini dari tahun
ke tahun semkain berkurang. Ini karena dampak dibukanya jalan-jalan darat
menjuju pelosok-pelosok Kalbar. Keadaan ini memerlukan penanganan secara
simultan mulai dikembangkan sistem transportasi sungai sebagai intergal dari
sistem transportasi secara keseluruhan.
Namun keberadaan sungai sebagai sarana penghubung antar
daerah mendorong masyarakat banyak bermukim di daerah aliran sungai.masyarakat
Kalimantan Barat sebagian besar bermatapencaharian petani dan berkebun.
2.3 Sungai Kahayan
Sungai Kahayan atau batang Biaju Besar atau sungai Dayak
Besar atau Groote Daijak-rivier atau Great Dajak atau Great Dyacs adalah sungai
yang membelah kota Palangka Raya[6].
Sungai ini bermuara di 3 kabupaten/kota antara Kota Palangka Raya, Kabupaten
Gunung Mas dan Kabupaten Pulang Pisau, dan bermuara di Laut Jawa. Sungai ini
memiliki panjang 250 km.
Tingginya curah hujan serta faktor manusia yang
menyebabkan perubahan karakteristik terutama pada daerah hulu menjadikan air
dari aliran Sungai Palangka Raya ini pada musim hujan sering meluap, dan
menyebabkan banjir pada kawasan sekitarnya. Muara sungai Kahayan terletak 30
mil sebelah timur Tanjung Malatayur.
2.3.1 Sunga Kahayan dan Sejarahnya (Kesultanan, Hasil Bumi dan
Tambang, Kota, dan tokoh)
Kota Palangka Raya atau Palangkaraya adalah sebuah kota
sekaligus merupakan ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah. Kota ini memiliki luas
wilayah 2.400 km² dan berpenduduk sebanyak 220.962 jiwa dengan kepadatan
penduduk rata-rata 92.067 jiwa tiap km² (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).
Sebelum otonomi daerah pada tahun 2001, Kota Palangka Raya hanya memiliki 2
kecamatan, yaitu: Pahandut dan Bukit Batu. Kini secara administratif, Kota Palangka
Raya terdiri atas 5 kecamatan, yakni: Pahandut, Jekan Raya, Bukit Batu,
Sebangau, dan Rakumpit.
Kota ini dibangun pada tahun 1957 (UU Darurat No. 10/1957
tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Kalimantan Tengah) dari hutan
belantara yang dibuka melalui Desa Pahandut di tepi Sungai Kahayan. Palangka
Raya merupakan kota dengan luas wilayah terbesar di Indonesia. Sebagian
wilayahnya masih berupa hutan, termasuk hutan lindung, konservasi alam serta
Hutan Lindung Tangkiling.
Dengan banyaknya kemacetan lalu lintas di Jakarta, pada
akhir bulan Juli dan awal Agustus 2010, muncul beberapa wacana untuk
memindahkan Ibukota Indonesia ke Palangkaraya. Luas Palangkaraya setara 3,6 x
luas Jakarta.
Ditengah kota Palangka Raya dibelah oleh sebuah sungai
besar, yaitu Sungai Kahayan. Sebagai sarana transportasi dapat menggunakan
kapal kecil, seperti jukung, getek dan kelotok. Juga terdapat 3 buah sungai
buatan, yaitu Pangaringan I, Pangaringan II dan Pangaringan III[7].
Potensi perikanan di Kalimantan Tengah sangat besar,
khususnya perikanan air tawar. Hal itu dikarenakan luasnya wilayah perairan
tawar seperti sungai, danau dan rawa di Kalimantan Tengah. Sebagian besar
penduduk di wilayah Katingan, Khususnya Kecamatan Katingan Tengah bermata
pencaharian sebagai petani dan penambang. Hasil tambang utama yang diperoleh
adalah emas dan puya (pasir zirkon) yang berwarna merah. Masyarakat dalam
melakukan penambangan masih bersifat tradisional sehingga hasil yang diperoleh
tidak optimal.
Pada abad ke-16 Kalimantan Tengah masih termasuk dalam
wilayah Kesultanan Banjar, penerus Negara Daha yang telah memindahkan ibukota
ke hilir sungai Barito tepatnya di Banjarmasin, dengan wilayah mandalanya yang
semakin meluas meliputi daerah-daerah dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Pada
abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang beristrikan Nyai Siti
Biang Lawai, seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju
kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar, bahkan dengan aksi
pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai bernama
Panglima Sorang yang diberi gelar Nanang Sarang membantu Raja Maruhum menumpas
pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok.
Selain itu orang Biaju (sebutan Dayak pada jaman dulu)
juga pernah membantu Pangeran Dipati Anom (ke-2) untuk merebut tahta dari
Sultan Ri'ayatullah. Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah
di negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu
Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang
pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah
suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri
Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat
dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting.
Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi
raja Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang,
yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan
VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637. Menurut laporan Radermacher, pada tahun
1780 telah terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya
kepala daerah Mendawai, Kyai Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya
kepala daerah Pembuang dan kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar
Ratu Kota Ringin.
Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk
daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu
satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai
memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh
Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan.
Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan
Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan
Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan
Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang.
Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala
suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman. Di
daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi
perang besar.
Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan
dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria gagah perkasa,
diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian
hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun
Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan
Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh
daerah, dikuasai VOC. Sekitar tahun 1835 misionaris Kristen mulai beraktifitas
secara leluasa di selatan Kalimantan.
Pada 26 Juni 1835, Barnstein, penginjil pertama
Kalimantan tiba dan mulai menyebarkan agama Kristen di Banjarmasin. Pemerintah
lokal Hindia Belanda malahan merintangi upaya-upaya misionaris Pada tanggal 1
Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit. Tahun 1917,
Pemerintah Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan
petugas-petugas pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah
sendiri. Sejak abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman
Kalimantan dengan maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk
pribumi, tidak begitu saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada
para penjajah mereka lakukan hingga abad XX.
Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah
Sultan Mohamad Seman gugur sebagai kusuma bangsa di Sungai Menawing dan
dimakamkan di Puruk Cahu. Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke
pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para
penjajah tidak mampu menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli
tetap bertahan dan mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran
antara suku Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran
diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya
Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda. Menurut Hermogenes Ugang ,
pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonio Ventimiglia
pernah datang ke Banjarmasin.
Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik
mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar
untuk mengurbankan Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi
Katholik. Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan
pengaruh pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah
Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan
pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju,
sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan
Sultan Surya Alam/Tahliluulah, karena orang Biaju (Ngaju) pendukung Gusti
Ranuwijaya penguasa Tanah Dusun-saingannya Sultan Surya Alam/Tahlilullah dalam
perdagangan lada.
Dengan terbunuhnya
Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang telah
dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang tertinggal
hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia
kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang
sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis
sebagai penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak
lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak burung dalam bahasa Banjar.
2.4 Sungai Mahakam
Mahakam merupakan nama sebuah sungai terbesar di provinsi
Kalimantan Timur yang bermuara di Selat Makassar. Sungai dengan panjang sekitar
920 km ini melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu, hingga
Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda di bagian hilir. Di sungai hidup
spesies mamalia ikan air tawar yang terancam punah, yakni Pesut Mahakam.
Sungai Mahakam sejak dulu hingga saat ini memiliki
peranan penting dalam kehidupan masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air,
potensi perikanan maupun sebagai prasarana transportasi.
2.4.1 Sungai Mahakam dan Sejarahnya (Kesultanan, Hasil Bumi dan
tambang, Kota, dan tokoh)
Kerajaan Kutai (Kutai Martadipura) adalah kerajaan
bercorak hindu yang terletak di muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu
Sungai Mahakam. Kerajaan Kutai berdiri sekitar abad ke-4. Nama kerajaan ini
disesuaikan dengan nama daerah tempat penemuan prasasti, yaitu daerah Kutai.
Hal ini disebabkan, karena setiap prasasti yang ditemukan tidak ada yang
menyebutkan nama dari kerajaan tersebut. Wilayah Kerajaan Kutai mencakup
wilayah yang cukup luas, yaitu hampir menguasai seluruh wilayah Kalimantan
Timur. Bahkan pada masa kejayaannya Kerajaan Kutai hampir manguasai sebagian
wilayah Kalimantan. Kesultanan Kutai merupakan kelanjutan dari kerajaan Hindu
Kutai Kertanegarayang sudah berdiri sejak tahun 1300. Islam masuk di Kalimantan
Timur pada abad ke-17 melalui dua arah, yaitu dari Kalimantan Selatan, yang
berasal dari Kerajaan Bajar, yang terkenal dengan sebutan Dato’ Ribandang dan
Tuan Tunggang Parangan.
Ekspedisi mereka berjalan dengan lancar, setelah itu
dato’ Ribandang kembali ke Makassar dan Tuan Tunggang Parangan menetap di
Kutai, pada masa ini lah Raja Mahkota tunduk kepada ajaran Islam. selain daerah
ini Islam juga datang dari arah Timur, yang dibawah oleh pedagang
Bugis-Makassar. Islam yang datang diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai dan
kemudian berubah menjadi kesultanan pada abad ke-18. Sultan pertama yang
memerintah di Kesultanan Kutai adalah Sultan Aji Muhammad Idris 1732-1739.
Pada masa pemerintaha Sultan yang pertama ini, beliau
pergi kesulawesi Selatan untuk menolong rakyat yang sedang berperang melawan
penjajahan Belanda. Tahta kesultanan kutai direbut oleh Aji Kado yang tidak
berhak atas tahta kesultanan karena masih ada Aji Imbut yang merupakan putra
mahkota namun usianya masih kecil. Aji Kado resmi menjadi Sultan denga gelar
Sultan Aji Muhammad Aliyuddin. (1739-1780).
Setelah Imbut dewasa dan dinobatkan sebagai Sultan Kutai
denga gelar Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816). Sejak itu dimulai perlawanan
terhadap Aji Muhammad Aliyuddin. Karena Aji Muhammad Muslihuddin mendapat
bannyak bantuan dari rakyat sehingga ia dapat memenangi perlawanan tersebut,
dan akhirnya Aji Muhammad Aliyuddin dihukum mati.
Dalam kesultanan Kutai Islam dijadikan sebagai agama
resmi Negara. Para tokoh mendapat kedudukan terhormat sebagai penasehat sultan
dan pejabat-pejabat kesultanan, disamping sebagai hakim. Hukum Islam
diberlakukan dalam menyelesaikan perkara perdata dan keluarga. Sehingga ajaran
Islam sangat berpenaruh di daerah tersebut.
Kesultanan Kutai mengalami masa keemasan pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Muslihuddin (1739-1782) dan Sultan Muhammad
Salihuddin (1782-1850). Pada masa ini, Kutai tampil sebagai daerah maritim yang
memiliki armada pelayaran yang meramaikan perdagangan. Yang dihasilkan oleh
Kesultanan Kutai di antaranya lada, kopi, kopra, dan rempah-rempah. Sedangkan
barang yang masuk ke daerah Kutai yaitu, sutra, porselin, dan lain-lain. Para
pedagang dari Kesultanan Kutai sangat aktif berlayar di Kepulauan Nusantara,
bahkan sampai ke Singapur, Filipina, dan Cina[8].
Pelabuhan Samarinda yang berada di kota Samarinda,
tepatnya terletak di tepian sungai Mahakam. Pada tahun 1668 awalnya Samarinda
di tempati oleh orang-orang Bugis Wajo, karena saat itu kerajaan Gowa telah
dikuasai oleh Belanda dan tidak menyetujui perjanjian Bongaya antara Sultan
Hasanuddin dan VOC Belanda. Pada tahun 1844 di tandainya Kalimantan Timur di
bawah Pemerintahan Belanda, Samarinda terus berkembang dan telah dikenal serta
menarik para pedagang maupun pelaut dari Cina, India, karena sekitar sungai
Mahakam kaya akan hasil-hasil emas, sarang burung. Madu, lilin lebah, gaharu,
bulu burung yang indah, hasil hutan lainnya, dan juga terdapat minyak kental
(Napta) yang dijual belikan secara barter dengan mata uang koin. Pada masa
penjajahan Belanda sudah dibangun dermaga dari kayu selain menghubungkan antara
Samarinda Ilir dan Samarinda Seberang juga dipakai kegiatan bongkar muat
barang.
Pada tahun 1978 setelah melihat arus bongkar muat barang
dan kunjungan kapal meningkat dari waktu ke waktu, Pemerintah Republik
Indonesia memperluas Pelabuhan Samarinda dengan beton bertulang, dan pondasi
tiang pancang. Dermaga tersebut diberi nama dermaga III dengan panjang 50 x 12
m.
Pelabuhan Samarinda merupakan salah satu pelabuhan yang
berada di Kalimantan Timur dengan luas daratan 211.440 km2. Kaltim merupakan
salah satu propinsi di wilayah Indonesia bagian Timur yang mempunyai potensi
sumber daya alam yang melimpah seperti migas dan batu bara dari hasil tambang,
kayu, dan rotan dari hasil hutan, serta kelapa sawit dari hasil perkebunan.
Peran pelabuhan sangatlah dominan, di samping sebagai
terminal dan pintu gerbang arus barang, penumpang serta hewan juga sebagai
penunjang dan pemacu pertumbuhan perekonomian di Kalimantan Timur.
Potensi dan hasil produksi Kalimantan Timur yang cukup
menonjol adalah : Hasil Tambang : Minyak, gas bumi dan batu bara. Hasil Hutan :
Kayu dan Rotan . Hasil Perkebunan : Kelapa sawit. Hasil Perikanan : Udang
Ekspor[9].
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setiap daerah di Indonesia tidak ada yang tidak
dianugrahi karunia berupa sungai. Sungai digunakan untuk system irigasi sawah
dan berfungsi sebagai lalu lintas tranpotasi. Setiap pulau yang ada di
Indonesia pasti memiliki sungai, orang-orang dahulu lebih senang membuat
pemukiman berdekatan dengan sungai. Sungai merupakan anugrah yang harus
disyukuri oleh kita anak muda bangsa Indonesia.
Setiap wilayah di Indonesia pasti memiliki kota. Setiap
kota memiliki ciri khas masing-masing. Ciri khas ini akan mempengaruhi
kehidupan dan kebudayaan masyarakat yang menempati wilayah tersebut. Setiap
daerah memiliki kota sebagai pusat administrasi pelayanan masyarakat.
Setiap dearah yang ada di Indonesia pasti memiliki
kerajaannya masing-masing. Tidak Kurang dari 33 kerajaan atau kesultanan yang pernah
Berjaya di negeri Indonesia. ini memberikan gambaran bahwa Indonesia sungguh
begitu hebat dan luar biasa. Satiap daerah yang satu dengan daerah yang lain
memiliki kesultanan masing-masing dengan gaya kepemimpinan yang berciri khas
masing-masing pula. Ini memambahkan begitu beranekaragamnya adat istiadat yang
dibawa oleh masing-masing kesultanan tersebut.
Disetiap pelosok daerah di negeri Indonesia pasti
terdapat sumber-sumber daya alam yang berlimpah. Di setiap pulau, disetiap kota
memiliki komoditas atau hasih bumi dan tambangnya masing-masing. Ini menjadikan
cerminan bahwa bangsa Indonesia masih kaya hingga saat ini. Banyak orang asing
yang berduyun-duyun untuk menguasai hasil bumi dan tambang yang ada di negeri kita
ini.
Setiap wilayah di pelosok negeri Indonesia juga pasti ada
tokoh yang memimpin keberlangsungan hidup bermasyarakat. Tokoh-tokoh islam yang
hampir kita temui di berbagai wilayah di Indonesia menggambarkan bahwa islam
pernah menjadi pencerahan bagi kerajaan-kerajaan atau kesultanan yang runtuh
akibat perang, baik itu perang saudara atau perang melawan penjajahan. Para
tokoh muslim tersebut memberikan pencerahan bagi mereka yang menginginkan hidup
damai diatas keberagaman.
3.2 Saran
Kita sebagai
bangsa Indonesia sudah sepantasnya bersyukur dengan karunia yang begitu
besarnya. Harusnya ini menjadi motivasi buat kita anak muda Indonesia untuk
terus bergerak kearah yang positif demi menjaga keutuhan dari keberagaman yang
kita miliki. Tidak ada di pelosok negeri ini yng tidak menghasilkan, tidak ada
dipelosok negeri kita ini yang tidak memiliki sungai, kota, tokoh, dan
kesultanan. Ini semua merupakan anugrah yang musti kita jaga dan kita
lestarikan sampai generasi berikutnya.
[1] (Inggris) James Cook, A collection of voyages
round the world: performed by royal authrity. Containing a complete historical
account of Captain Cook's first, second, third and last voyages, undertaken for
making new discoveries, &c. ... To which are added genuine narratives of
other voyages of discovery round the ... , Printed for A. Millar, W. Law, and
R. Cater, 1790
[2] Departemen Pendidikan & Kebudayaan,
Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984), hlm. 57.
[3]
Kenneth R. Hall, Maritime Trade and State Development in Early Souteast Asia
(Honolulu: University of Hawaii Press, 1985), hlm. 3.
[4]
Fudiat Suryadikarta dkk., Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981),
hlm. 7.
[5] (Melayu) Ras, Johannes Jacobus (1990). Hikayat
Banjar diterjemahkan oleh Siti Hawa Salleh. Malaysia: Percetakan Dewan Bahasa
dan Pustaka. ISBN 9789836212405.ISBN 983621240X
[6] (Inggris)Sherwood, Sherwood (1822). The
Monthly repository of theology and general literature 17. Sherwood, Gilbert,
and Piper. hlm. 13.
[7] Profil
Kota Palangka Raya di situs web resmi Pemprov Kalimantan Tengah.
[8]
http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/20/masuknya-islam-di-kalimantan-bag-3-548367.html
[9] http://dishub.kaltimprov.go.id/dinamic.php?act=PLB&id=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar