Jumat, 01 November 2013

perlawanan masyarakat Aceh terhadap Jepang 1942


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Aceh yang terkenal dengan sebutan, “Kota Serambi Mekkah” merupakan tempat di mana berkembangnya agama Islam pertama di Indonesia. Diperlihatkan dari letak geografisnya, dimana Aceh sendiri terletak di ujung barat Pulau Sumatera dan dekat dengan Selat Malaka yang saat itu menjadi pintu pusat lalu lalangnya kapal-kapal saudagar antara belahan bumi Barat dan Timur dapat diperhitungkan sejak awal abad ke 1 atau paling lambat masa mula berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Seperti yang tertulis dalam buku H Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad jilid I.
Sebelum masuknya agama Islam ke Aceh, terlebih dahulu sudah ada agama serta kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan budha di Aceh. Beberapa kerajaan yang dulu pernah bercorak Hindu seperti, Kerajaan Laut Bangko (Kluet) di Aceh Selatan, Kerajaan Sama Indra (Pedir) yang berada di Pidie, Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa yang berada di Aceh Besar dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.
Kembali kesejarah masa lalu, dimana pengaruh agama Hindu masuk pertama ke Aceh yang datang dari India sekitar 2500 tahun yang lalu, di Aceh mereka telah membuat perkampungan, mereka sendiri datang melalui pesisir pantai Utara Aceh. Pengaruh Hindu di Aceh telah terjadi sejak zaman purba seperti yang ditulis oleh ahli-ahli ketimuran Belanda dalam beberapa buku tentang sejarah budaya Aceh (Prof Dr H Aboebakar, Aceh 1972). Dan ada juga beberapa penemuan berupa guci-guci yang berisi abu jenazah di Lamno Daya (Aceh Jaya) serta beberapa cerita dari masyarakat tentang pahlawan syah yang terus hidup di negeri itu.
Penduduk Aceh merupakan keturunan dari berbagai suku, kaum dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin, dan Kamboka. Di samping itu banyak juga bangsa-bangsa asing di tanah Aceh, seperti bangsa Arab, India dan Cina dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di Aceh.
Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat senjata memerangi Jepang.
     Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.

1.2    Rumusan Masalah
     Dilihat dari latar belakang diatas adapun rumusan masalahnya, yaitu :
1.             Siapakah suku Aceh ?
2.             Bagaimana sejarah daerah Aceh ?
3.             Bagaimanakah Kesultanan Aceh Darussalam ?
4.             Siapakan yang pernah mendatangi atau singgah wilayah Aceh ?
5.             Bagaimanakah kedatangan Jepang ke Aceh ?
6.             Bagaimanakah reaksi masyarakat Aceh terhadap kedatangan bangsa Jepang ?

1.3         Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.3.1. Tujuan Penulisan
Tujuan utama pembuatan makalah ini untuk memenuhi nilai mata kuliah Sejarah Nasional Indonesia II. Selanjutnya untuk memaparkan tentang peristiwa-peritiwa yang terjadi di Aceh akibat dari datangnya bangsa Jepang yang ingin menguasai wilayah Aceh.
1.3.2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah penulisan dan pembaca lebih memahami mengenai peristiwa-peritiwa yang terjadi di Aceh akibat dari datangnya bangsa Jepang yang ingin menguasai wilayah Aceh.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Suku Aceh
Suku Aceh berasal dari pendatang Melayu Tua (Proto-Malay) dan Melayu Muda (Deutero-malay). Golongan Melayu Tua ini membawa kemampuan yang lebih maju dari pendahulunya, meski dengan perkakas serba batu. Mereka berkulit sawo matang seperti orang Mongol, sekarang keturunannya orang Gayo dan Alas.
Menjelang permulaan abad masehi datang Melayu Muda, Melayu Tua menyingkir kepedalaman, sedangkan Melayu Muda  yang memang keturunan penduduk asal Indo China, khususnya dari Champa atau Khmer (Kamboja) yang kemampuannya lebih tinggi dari Melayu Muda. Keturunan mereka kemudian menempati wilayah pesisir sekeliling Aceh. Dan golongan Melayu Muda inilah yang aktif berhubungan dengan orang-orang asing, baik Karena didatangi maupun mendatangi.
Menurut penelitian G. K. Nieman dari unsur linguistik: bahasa Aceh banyak kesamaan dengan bahasa Campa dari Indo China, maka dia mengajukan dugaan bahwa sebagian penduduk Aceh mungkin berasal dari perpindahan negeri Campa.

2.2    Sejarah Aceh
Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeni. Aceh sebagai bandar paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.
Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.
     Kabupaten Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di di Desa Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireuen.Secara geografis, kerajaan Jeumpa terletak di daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur.
Aceh yang terkenal dengan sebutan, “Kota Serambi Mekkah” merupakan tempat di mana berkembangnya agama Islam pertama di Indonesia. Diperlihatkan dari letak geografisnya, dimana Aceh sendiri terletak di ujung barat Pulau Sumatera dan dekat dengan Selat Malaka yang saat itu menjadi pintu pusat lalu lalangnya kapal-kapal saudagar antara belahan bumi Barat dan Timur dapat diperhitungkan sejak awal abad ke 1 atau paling lambat masa mula berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Seperti yang tertulis dalam buku H Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad jilid I.
     Namun dengan sendirinya meningkat lalulintas perdagangan dan kemampuan hidup masyarakat sekaligus memungkinkan terbangunnya suatu pemerintahan atau kerajaan. Sumatera sudah kaya akan hasil Bumi dan Alamnya jadi tidak salah pada masa itu bangsa India menyebutnya dengan sebutan Swarnadwipa (Pulau Emas). Selain berdagang, para saudagar-saudagar tersebut juga pelan-pelan menyebarkan agama yang mereka pahami dan bawa dari bangsa mereka, salah satunya yaitu agama Islam, Budha dan Hindu.
Sebelum masuknya agama Islam ke Aceh, terlebih dahulu sudah ada agama serta kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan budha di Aceh. Beberapa kerajaan yang dulu pernah bercorak Hindu seperti, Kerajaan Laut Bangko (Kluet) di Aceh Selatan, Kerajaan Sama Indra (Pedir) yang berada di Pidie, Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa yang berada di Aceh Besar dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.
Kembali kesejarah masa lalu, dimana pengaruh agama Hindu masuk pertama ke Aceh yang datang dari India sekitar 2500 tahun yang lalu, di Aceh mereka telah membuat perkampungan, mereka sendiri datang melalui pesisir pantai Utara Aceh. Pengaruh Hindu di Aceh telah terjadi sejak zaman purba seperti yang ditulis oleh ahli-ahli ketimuran Belanda dalam beberapa buku tentang sejarah budaya Aceh (Prof Dr H Aboebakar, Aceh 1972). Dan ada juga beberapa penemuan berupa guci-guci yang berisi abu jenazah di Lamno Daya (Aceh Jaya) serta beberapa cerita dari masyarakat tentang pahlawan syah yang terus hidup di negeri itu.
Penduduk Aceh merupakan keturunan dari berbagai suku, kaum dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin, dan Kamboka. Di samping itu banyak juga bangsa-bangsa asing di tanah Aceh, seperti bangsa Arab, India dan Cina dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di Aceh.
Seperti yang kita ketahui bangsa Arab dan India terkenal dengan kebiasaan berdagangnya. Bangsa Arab yang datang dan tinggal di Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka seperti Al-Aydrus, Al-Habsyi, Al- Attas, Al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain-lain yang semuanya merupakan bangsa Arab asal Yaman. Sedangkan bangsa India dibuktikan dengan penampilan bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga kebudayaan Hindu Tua (nama-nama desa yang diambil dari bahasa Hindi, contoh Indra Puri. Keturunan India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan meka keturunan India cukup dominan di Aceh. Sedangkan pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahkan Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, yang sekarang tersimpan di Museum Aceh, Banda Aceh.
Semenjak itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut-pelaut tiongkokpun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa. Selain itu juga banyak keurunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki. Mereka pernah datang atas undangn Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatihan prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh dan saat ini keturunan-keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar.
Hingga sampai saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan dari Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda yang asrtinya pelabuhan, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia. Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis di wilayah Kuala Daya, Lam No (Pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nahkoda Kapten Pinto, yang saat itu hendak berlayar menuju Malaka (Malaysia). Mereka sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, dan sebagian diantara mereka tetap tinggal dan menetap di Lam No.
Dalam sejarah tercatat tentang peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No. Dengan sang raja bernama Raja Meureuhom Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental.

2.3    Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507 Masehi.
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada 7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di Kota Alam, yang merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.
Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 30 November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan Samudera Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar itu. Tanggal-tanggal yang ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan sendirinya mengandung arti untuk dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya catatan sejarah di Aceh dalam masa-masa yang dimaksud (H. Mohammad Said a, 1981:157).
     Aceh adalah wilayah yang besar dan dihuni oleh beberapa pemerintahan besar pula. Selain Kesultanan Aceh Darussalam dan Samudera Pasai, di tanah ini telah berdiri pula Kerajaan Islam Lamuri selain Kesultanan Malaka yang memiliki peradaban besar di Selat Malaka. Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan Islam Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Mahkota Alam, yang dalam perkembangannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo a, 2006:72-73).
     Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah Islam pada umumnya dalam keseluruhan sejarah universal. Dalam hikayat Aceh seperti yang dianalis Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, bab mengenai Kesultanan Aceh Darussalam hanyalah satu keping dari pekerjaan tatahan, satu batu dari gedung yang lebih besar, tetapi tertumpu pada tokoh satu orang, yaitu Sultan Iskandar Muda. Sultan terbesar dari Aceh ini justru bukan merupakan pemimpin dari generasi awal Kesultanan Aceh Darussalam. Meski siapa penulis Hikayat Aceh tidak diketahui dan tidak tersimpan pula tanggal mengenai penyusunan karyanya, namun bisa dikatakan bahwa Hikayat Aceh tersebut disusun selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan bahwa raja itu menyuruh salah seorang pujangga istananya untuk menyusun riwayat hidupnya (Denys Lombard, 2007:43).
     Mengenai asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas karena, selain banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat Aceh masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber sejarah mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar diperiksa kebenarannya. Mitos tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya seperti yang dikisahkan oleh seorang pengelana Barat yang sempat singgah di Aceh. John Davis, nama musafir itu, mencatat bahwa orang Aceh mengganggap diri mereka keturunan dari Imael dan Hagar (Nabi Ismail dan Siti Hajar).
     Tiga abad kemudian, Snouck Hugronje mengungkapkan bahwa dia telah mendengar cerita tentang seorang ulama sekaligus hulubalang bernama Teungku Kutakarang (wafat pada November 1895), yang menganggap orang Aceh lahir dari percampuran dari orang Arab, Persi, dan Turki. Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini sengaja diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa (Lombard, 2007:62).
     Dalam buku karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang berjudul “Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” (2006), dikemukakan bahwa yang disebut Aceh ialah daerah yang sempat dinamakan sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebelumnya bernama Provinsi Daerah Istimewa Aceh). Tetapi pada masa Aceh masih sebagai sebuah kerajaan/kesultanan, yang dimaksud dengan Aceh ialah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh Besar atau dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk Untuk nama ini, ada juga yang menyebutkan nama "Aceh Lhee Sagoe" (Aceh Tiga Sagi). Selain itu, terdapat pula yang menggunakan Aceh Inti (Aceh Proper) atau “Aceh yang sebenarnya” karena daerah itulah yang pada mulanya menjadi inti Kesultanan Aceh Darussalam dan juga letak ibukotanya," untuk menamakan Aceh.
     Nama Aceh sering juga digunakan oleh orang-orang Aceh untuk menyebut ibukota kerajaannya, yakni yang bernama Bandar Aceh atau secara lengkapnya bernama Bandar Aceh Darussalam. Tentang nama Aceh belum ada suatu kepastian dari mana asal dan kapan nama Aceh itu mulai digunakan. Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang-orang Portugis dan Italia menyebutnya dengan nama “Achem”, “Achen”, dan “Aceh”, orang Arab menyebut “Asyi”. “Dachem”, “Dagin”, dan Dacin”, sedangkan orang Cina menyebutnya dengan nama “Atje” dan “Tashi” (Sufi & Wibowo a, 2006:73-74).
     Sepanjang riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam :
1.      Sulthan Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2.      Sulthan Salah ad-Din (1528-1537)
3.      Sulthan Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
4.      Sulthan Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
5.      Sulthan Muda (1575)
6.      Sulthan Sri Alam (1575-1576)
7.      Sulthan Zain Al-Abidin (1576-1577)
8.      Sulthan Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
9.      Sulthan Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
10.  Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu (1596-1604)
11.  Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12.  Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam (1607-1636)
13.  Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
14.  Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri Alam (1641-1675)
15.  Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
16.  Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17.  Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
18.  Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din (1699-1702)
19.  Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20.  Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21.  Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22.  Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
23.  Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
24.  Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
25.  Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
26.  Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
27.  Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
28.  Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
29.  Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
30.  Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31.  Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
32.  Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
33.  Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
34.  Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
35.  Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
36.  Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
    ( Catatan : Sulthan Aceh Ke-29 dan 31 adalah orang yang sama )

2.4    Bangsa Pendatang Di Aceh
Ada beberapa bangsa yang pernah singgah di wilayah Aceh, kaum pendatang tersebut ada yang bertujuan untuk urusan perniagaan maupun untuk urusan-urusan lain seperti untuk menguasai wilayah Aceh dan lain sebagainya.
     Portugis pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan disana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana.
Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah Malaka bisa dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga banyak ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).
Pada tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena orang Aceh mengira bahwa Belanda tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De Houteman serta menawan Frederick De Houteman.
Selanjutnya tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald De Roy dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama dengan Kerajaan Aceh. Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan kerjasama itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.
Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.
Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah menelan jutaan nyawa.
Aceh mengadakan hubungan dengan bangsa Tiongkok yaitu : pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie  Catatan sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan kerajaan di Aceh, didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok.
Didalam catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota kota di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Catatan pada awal Dinasti Mongol di Cina menunjukkan  beberapa kerajaan di Sumatera seperti samudra, Lamuri, Pereulak, Tamiang, dan haru. Tamiang dan Haru memang dipaksa oleh Mongol untuk mengirimkan upetinya. Kerajaan Samudra mulai mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol pada tahun 1282. Pada tahun itu penguasa Pasai menjalin hubungan dengan Cinamelalui perutusan Cina yang kembali dari India Selatan dan singgah di Samudra. Hubungan diplomatik tersebut sangat akrab sehingga raja Tiongkok pada waktu itu menyerahkan cenderamata kepada raja Pasai yaitu Lonceng Cakradonya.
Aceh melakukan hubungan dengan India merupakan suatu kontak dagang yang dibina sejak integrasinya sebagian bangsa India ke Aceh. Hubungan dagang tersebut saling menguntungkan terutama bagi bangsa India. Raja Golkunda mengekspor banyak besi dan baja, kain putih dan beberapa intan ke Aceh lewat Masulipatam. Sebagai gantainya ia mengimpor kemenyan dan kapur.

2.5    Kedatangan Jepang ke Aceh
Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.
     Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah menelan jutaan nyawa.
Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat senjata memerangi Jepang.
     Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.
                 “Tentara Hindia Belanda dan orang-orang Belanda sudah tidak ada lagi di Banda Aceh, dua hari yang lalu mereka telah pergi. Orang-orang KNIL yang berbangsa Indonesia (Jawa, Ambon, dan Manado) banyak yang lari dari tangsi dan menanggalkan bajunya mereka meminta perlindungan di kampung-kampung. Banda Aceh pada tanggal 12 Maret 1942 sudah menjadi kota terbuka, karena semenjak pagi para polisi Hindia Belanda menanggalkan baju mereka dan bersembunyi di rumahrumah mereka, sehingga rakyat bebas mengambil apa saja yang ditinggalkan Belanda, baik di rumah-rumah maupun di kantor-kantor dan gudang-gudang perusahaan. Serdadu-serdadu Jepang yang pada waktu tengah hari masuk kota, membiarkan saja keadaan demikian rakyat beramai-ramai mengambil harta
rampasan ...”
     Para pemimpin Perang Gerilya pada tanggal 13 Maret 1942, dengan dijemput Said Abubakar meninggalkan Markas Gerilya di Data Coo, dan setelah bermalam satu malam di Seulimeum menuju Sigli untuk menjumpai Teungku Muhammad Daud Bereueh (Ketua Pengurus Besar PUSA) dan para anggota Pengurus PUSA lainnya.
     Di Sigli berjumpa dengan S. Matsubuci, seorang Pemimpin Fujiwarakikan, yang ditugaskan segera ke Aceh untuk membentuk Pemerintahan Pantadbiran Militer Jepang sementara malamnya, S. Matsubuci bersama beberapa anggota Pengurus Besar PUSA dan Mujahiddin yang baru turun dari kaki Bukit Barisan berangkat ke Banda Aceh. Berhubung hotel-hotel sudah tidak ada lagi yang mengurus, maka semua (termasuk S. Matsubuci) pergi ke kampong Alue (Dayah Geulumpang) dan di sana menginap di rumah Teungku Muhammad Yunus Jamil (salah seorang tokoh Fujiwarakikan).
     Besoknya mereka menuju ke Banda Aceh, di mana didapati kota sudah tidak terurus, rumah-rumah dan gedung-gedung yang ditinggalkan Belanda berantakan,  apa yang ada di dalamnya diangkut rakyat beramai-ramai, baik mereka penghuni kota maupun mereka yang datang dari kampung-kampung yang jauh. Polisi yang seharusnya menjaga ketertiban sudah tidak kelihatan, mereka telah menanggalkan baju dinasnya dan mungkin sekali bahwa mereka yang telah memakai baju "preman" ikut mengambil harta rampasan perang. Kalau dalam kota pada hari itu, orang beramai-ramai berpesta pora dengan harta rampasan "perang", maka rakyat banyak di luar kota, dipinggir laut tempat pendaratan tentara Jepang, dan di sepanjang jalan yang dilalui pasukan-pasukan tentara Jepang yang baru mendarat, mereka menyambut "saudara tua" itu dengan kelapa muda dan nasi bungkus dan bahkan banyak yang memberikan sepedanya yang diminta serdadu-serdadu yang sepedanya telah kempis atau memang tidak mempunyai sepeda.
     Rakyat umum yang di kampung-kampung, kecuali sedikit yang telah ke kota, tidak menghiraukan "harta rampasan perang" di kota, karena mereka berkeyakinan bahwa dalam waktu dekat kapal-kapal dagang Jepang akan membawa bahan pakaian dan barang-barang
keperluan hidup lainnya yang akan dijual dengan harga murah, bahkan ada yang mengira bahwa bahan-bahan pakaian itu nanti akan dibagibagi tanpa bayar, karena Aceh telah memberontak terhadap Belanda dan telah membantu tentara Jepang. Ini salah satu sebab yang menyebabkan pada satu waktu nanti rakyat kecewa dan marah kepada Jepang.
     Pada tahun pertama Jepang menduduki Aceh, politik dua muka yang dijalankannya memang berhasil. Dengan muka yang satu Jepang memandang para Ulama dengan senyum manis dan seakan-akan hanya itu saja mukanya. Sebaliknya, muka yang lain Jepang menyapa Hulubalang dengan senyum simpul, seakan-akan hanya itu sajalah mukanya. Pada mulanya, baik Hulubalang maupun Ulama tidak mengetahui bahwa "muka Jepang" yang berhadapan dengan mereka itu adalah "muka palsu", sedangkan "muka yang asli" bermukim di balik "muka palsu" itu.
     Dengan "politik dua muka" itu Jepang mempergunakan Hulubalang untuk memaksa rakyat agar menyerahkan padinya kepada BDK (Badan Kumpul dan Bagi) yang telah dibentuk Jepang, agar mau bekerja keras (paksa) untuk membikin jalan, lapangan terbang, bentengbenteng pertahanan dan sebagainya.
     Dengan "politik dua muka" itu pula Jepang dapat mempergunakan lidah Ulama agar mendakwahkan rakyat bahwa penyerahan padi, pembuatan lapangan terbang, jalan-jalan, bentengbenteng pertahanan dan sebagainya adalah untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya, yang nantinya akan menjadikan Asia Makmur, rakyatrakyat Asia merdeka dan senang. Dengan cara yang tidak disadari dan halus, sewaktu-waktu Jepang membiarkan Hulubalang menangkap rakyat. Dipihak lain, dengan halus dan tidak terasa Jepang memberi sugesti kepada badanbadan pengadilan yang pada umumnya dipegang para Ulama, agar melaksanakan keadilan terhadap rakyat tertindas dan teraniaya, sehingga dengan demikian rakyat yang ditangkap Hulubalang dibebaskan Ulama lewat pengadilan.
     Politik "dua muka" Jepang cepat disadari para Ulama PUSA/Pemuda PUSA, sehingga pada awal sejarah pendudukan Jepang di Indonesia, para Ulama Pimpinan PUSA/Pemuda PUSA telah melakukan semacam "pemberontakan politik" terhadap Jepang, yang menyebabkan sejumlah pimpinan PUSA/Pemuda PUSA ditangkap dan ditahan dalam tahanan Kempetai beberapa waktu. Mengapa para Ulama PUSA/Pemuda PUSA yang cepat menyadari akan bahaya dan jahatnya "politik dua muka" Jepang ? Mungkin karena para pemimpin PUSA/Pemuda PUSA dalam menetapkan "kebijaksanaan kerjasama" dengan Jepang dahulunya, juga telah digariskan batas-batas yang tidak boleh dilewatinya dalam
pelaksanaan kerjasama.
     Sekalipun pemberontakan PUSA/Pemuda PUSA terhadp Jepang sifatnya hanya politik, namun dampaknya sangat jauh dan mendalam. Dengan pemberontakan politik itu, para pemimpin PUSA/Pemuda PUSA seakan-akan mengatakan kepada rakyat bahwa kerjasama dengan Jepang hanya sampai disini, dan kepada para Ulama/Pemimpin di luar PUSA/Pemuda PUSA seperti mengisyaratkan bahwa Jepang bukanlah "teman" orang Aceh.
     Pemberontakan politik yang dilakukan PUSA/Pemuda PUSA terhadap Jepang, telah memberanikan sebahagian rakyat untuk menolak penyerahan padi, membangkang terhadap perintah kerja paksa/gotong royong yang disuruh Jepang lewat Hulubalang. Hal ini, pada waktunya membangkitkan kemarahan sebahagian Hulubalang, sehingga merekapun
mencari jalan sendiri untuk melawan/memberontak terhadap Jepang.
     Para ulama di luar PUSA/Pemuda PUSA yang sejak semula menolak kerjasama dengan Jepang dan memandang Jepang kalau tidak lebih jahat sama dengan Belanda, melihat pemberontakan fisik seperti yang telah dilakukan terhadap Belanda. Hal ini, mungkin telah
mendorong mereka untuk mendahului PUSA/Pemuda PUSA dalam hal memerangi Jepang dengan senjata.
     Telah dijelaskan bahwa "politik dua muka" Jepang telah memarahkan sebahagian Hulubalang, bahkan telah mendorong mereka untuk melawan Jepang. Dalam tahun 1943 dan 1944, Sekutu aktif mengadakan kontak dengan para Hulubalang yang telah marah tadi. Lewat kapal selam, Sekutu mendaratkan sejumlah spionnya di pantai-pantai Aceh, dan spion-spion inilah yang memberi perintah-perintah apa yang harus dikerjakan para kakitangan mereka. Kepada para kakitangan tidak disuruh memberontak dengan senjata, tetapi mereka diperintahkan agar melakukan sabotase dalam segala kesempatan dan kemungkinan. Sasaran sabotase mereka, yaitu alat-alat perhubungan, seperti kereta api, telepon dan alat-alat pemancar. Yang tidak kurang pentingnya, mereka diperintahkan agar melakukan "sabotase administrasi" di kantor-kantor pemerintahan, yang dengan demikian roda pemerintahan tidak atau kurang berputar bahkan kalau mungkin diputar ke belakang. Untuk keperluan ini, pegawai-pegawai negeri peninggalan Hindia Belanda harus dihubungi dengan janji-janji yang indah. Sudah beberapa kali beradu kereta api, sehingga lokomotif tua yang memang sudah kurang tenaga menjadi bertambah kurang, karena kehancuran akibat terjadinya peraduan yang mungkin sekali diatur oleh kakitangan (spion) Sekutu.
     Sekalipun pihak Ulama PUSA/Pemuda PUSA yang telah melakukan pemberontakan politik terhadap Jepang, yang dalam hal melawan Jepang sama tujuan dengan sementara mereka yang telah menjadi "kakitangan Sekutu", namun dalam usaha mencapai tujuan dalam banyak hal berbeda tindakan. Pihak PUSA/Pemuda PUSA berpendapat bahwa "kereta api" yang hanya satu-satunya alat perhubungan yang masih ada pada waktu itu, harus diselamatkan untuk kepentingan ekonomi rakyat umum, apalagi Jepang sendiri tidak banyak mempergunakan kereta api untuk gerakan militer. Menurut PUSA/Pemuda PUSA bahwa yang perlu di "sabotase" yaitu "sarana militer" baik sarana komunikasi maupun sarana perbentengan.
     Dalam gerakan yang betujuan satu, tetapi berbeda jalan, Atjeh Sinbun oleh masing-masing dapat dipergunakan menjadi sarana penyalur berita-berita palsu, surat-surat buta dan karangan-karangan yang bertendensi mengunggulkan Sekutu atas Jepang, bahkan juga sering bertujuan memfitnah golongan yang dianggapnya membantu Jepang. Dalam hal ini, yang agak lucu yaitu bahwa dua golongan yang telah menjadi "musuh Jepang" juga menjadi musuhnya satu terhadap lainnya.
     Di sinilah terletak kelemahan "gerakan perlawanan" mereka. Mungkin karena sebab ini dan mungkin pula karena kurang licinnya mereka, akhirnya "gerakan bawah tanah" sementara orang yang menjadi "kaki tangan Sekutu" mengambang ke atas oleh kecerdikan "Intelijen Jepang" di bawah pimpinan Kapiten Sato. Akibat lanjutan, sejumlah anggota "gerakan bawah tanah" tersebut dan pengikutnya ditangkap Kempetai Jepang. Para tokoh kaki tangan Sekutu yang ditangkap kemudian dihukum mati tidak diketahui sampai sekarang di mana kuburnya. Pada saat-saat seperti yang tertera di atas, di mana dua kelompok yang sama-sama menentang Jepang tetapi bermusuhan satu sama lain, kedudukan A.Hasjmy, Amelz, T.Alibayah Talsya dan lain-lain di Atjeh Sinbun memang sulit. Kalau kurang hati-hati bisa saja menjadi "mangsa" Kempetai, apalagi hampir menjadi pengetahuan orang ramai bahwa kami adalah Kelompok Pemberontakan Politik. K.Yamada-san yang menjadi atasan mereka, sebenarnya mengetahui posisi mereka yang demikian, tetapi dibiarkan saja, karena dia sendiri pada hakekatnya adalah "Pemberontak Politik" terhadap Pemerintah Militer Jepang.
     Di samping itu, dengan Sato-san, kepala Intelijen Jepang untuk Aceh dan Wakil Komandan Militer (Kemptai-co) yang terkenal dengan nama hebatnya "Si Balok" (kayu broti) karena besar dan tegap badannya memberi kemungkinan bagi kami untuk dapat melewati jurang-jurang yang berbahaya dengan selamat, bahkan sampai akhir pendudukan Jepang di Aceh kami (A.Hasjmy, Abdullah Arif, Teuku Alibasyah Talsya, Ridwan dan Syarif Alimy) dapat menguasai Atjeh Sinbun dengan percetakannya, yang kemudian menjelma menjadi Harian Semangat Merdeka.

2.6    Perang Bayu
     Sebagian para ulama Aceh non PUSA yang sejak semula menentang kerjasama dengan Jepang, dengan semboyan mereka yang terkenal "Talet bui tapeutamong asee" (mengusir babi, menerima anjing), terpengaruh benar dengan "pemberontakan politik" yang dilakukan para ulama PUSA/Pemuda PUSA pada awal sejarah pendudukan Jepang di Aceh, sehingga mendorong mereka melakukan "oposisi keras" terhadap tentara pendudukan Jepang dengan melakukan "pemberontakan bersenjata" yang cukup memusingkan Jepang.
     Pemberontakan bersenjata yang dilakukan sebahagian para ulama non PUSA memperkuat alasan bagi PUSA/Pemuda PUSA dalam hal tuntutannya agar Jepang memberi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, dan khusus di Aceh agar Jepang memberi kesempatan yang luas kepada para ulama dalam pemerintahan, sebagai langkah awal ke arah pemberian kemerdekaan. Tuntutan ini, sebahagian berhasil, antara lain dengan pembentukan "Mahkamah Syari'ah di seluruh Aceh, yang dipimpin dan anggota-anggotanya dipercayakan kepada para ulama, sementara sebahagian pimpinan "Pengadilan Negeri" juga diberi kepada para ulama. Disamping itu, sebahagian besar para pemuda PUSA/Kasysyafatul Islam diterima untuk dilatih menjadi perwira dalam organisasi ketentaraan "Gyugun" dan "Tokubetsu".
     Di antara para ulama non PUSA yang terdorong oleh "Pemberontakan Politik" PUSA untuk cepat bertindak melakukan "Perang Jihad" terhadap Jepang, yaitu Teungku Abdul Jalil, seorang ulama yang masih muda, yang berasal dari Buloh Blang Ara, Lhokseumawe. Beliau termasuk di antara anak-anak orang Aceh yang mau belajar pada "sekolah kafir" yang didirikan Belanda," yaitu Volkschool tiga tahun. Setamat dari "sekolah kafir" itu beliau belajar pada berbagai dayah yang dipimpin oleh ulama non PUSA.
     Mula-mula Abdul Jalil belajar pada dayah yang dipimpin Teungku Muhammad Amin Jumphoh (dalam Kabupaten Pidie), kemudian melanjutkan pada Dayah Krueng Kale, salah satu Pusat Pendidikan Islam terkenal di Aceh Besar, yang dipimpin oleh Teungku Haji Hasan Krueng Kale. Dari Dayah Krueng Kale, Abdul Jalil pindah ke Dayah Cot Plieng Bayu (Lhoksukon, Aceh Utara) yang dipimpin Teungku Ahmad. Di Cot Plieng Bayu, Abdul Jalil di kawinkan dengan Teungku Asiah puteri Teungku Ahmad, yang kemudian beliau menggantikan mertuanya untuk memimpin Dayah Cot Plieng, sebagai Teungku Chik.
     Baik Teungku Muhammad Amin Jumphoh, maupun Teungku Haji Hasan Krueng Kale dan Teungku Ahmad, ketiga mereka termasuk dalam kelompok ulama non PUSA, yang disebut "Kaum Tua", sementara ulama PUSA disebut "Kaum Muda". Memperhatikan latar belakang pendidikannya dengan ulamaulama yang menjadi gurunya, adalah suatu hal yang wajar kalau Teungku Abdul Jalil kemudian menjadi seorang ulama Aceh yang sangat fanatik dan anti "kafir" baik "kafir Belanda" maupun "kafir Jepang". Adalah suatu hal yang logis, kalau sejak semula beliau tidak menyetujui "kerjasama" dengan Jepang, sekalipun untuk tujuan mengusir "kafir Belanda", yang oleh para ulama PUSA/Pemuda PUSA dipandang sebagai "taktik perjuangan".
     Suatu perbedaan yang sangat mendasar antara ulama PUSA/Pemuda PUSA yang disebut "Kaum Muda" dengan ulama non PUSA yang disebut "Kaum Tua", yaitu bahwa ulama PUSA/Pemuda PUSA berpolitik dalam "organisasi yang non politik", sementara ulama non PUSA pada umumnya tidak berorganisasi dan tidak berpolitik sama sekali, sehingga mereka tidak mempunyai pengalaman dan pandangan politik. Perbedaan yang mendasar inilah yang menyebabkan adanya perbedaan "ijtihad" dalam menghadapi Jepang, baik sebelum maupun setelah "Tentara Dai Toa" mendarat di Tanah Aceh. Suatu hal yang tidak diragukan lagi, behwa kedua kelompok ulama Aceh itu sama-sama melawan penjajah, baik penjajah Belanda maupun penjajah Jepang.
     Dengan mengetahui perbedaan yang mendasar ini, maka ariflah kita mengapa pada awal sejarah pendudukan tentara Jepang di Aceh ulama PUSA/Pemuda PUSA melakukan "Pemberontakan Politik" terhadap Jepang, sementara Teungku Abdul Jalil dan kawan-kawan yang Ulama non PUSA terus mengadakan persiapan-persiapan ke arah "pemberontakan bersenjata". Sesuai dengan keyakinan yang demikian, maka Teungku Abdul Jalil dan kawan-kawan dengan diam-diam (pada tahap pertama) mengadakan dakwah "anti Jepang" dan seruan "jihad fi sabilillah", dari desa ke desa dalam Kabupaten Aceh Utara. Menjelang akhir tahun 1942, dakwah diam-diam ini berobah menjadi "dakwah terangterangan", setelah kekejaman tentara Jepang menjadi kenyataan yang pahit dan setelah keluar anjuran/perintah "kirei" (hormat) kepada Tenno Heika dengan menghadap ke Tokyo.
     Para muridnya di Dayah Cot Plieng Bayu menjelang akhir tahun 1942 telah matang untuk terjun ke dalam "jihad fi sabilillah" sementara sebahagian rakyat umum di sekitarnya telah mulai matang untuk suatu gerakan bersenjata, dan pada saat itu pihak intelijen dan Kempetai puntelah mengetahuinya.
     Pihak Jepang tentu berusaha untuk memadamkan api yang belum menyala itu, antara lain dengan mempergunakan aparatnya yang orang Aceh, yaitu para Hulubalang yang telah diangkat menjadi Gunco (Wedana) dan Sonco (Camat), yang mau tidak mau, suka tidak suka,harus melaksanakan permintaan Penguasa Jepang itu. Ulama PUSA/Pemuda PUSA yang dengan cara halus diharapkan oleh Jepang untuk melakukan "Dakwah Tandingan" terhadap Teungku Abdul Jalil, dengan halus pula tidak melakukan harapan Jepang itu, sekalipun tidak menolak. Para Ulama PUSA/Pemuda PUSA bersikap melihat saja, dan mungkin barangkali hatinya menyetujuinya. Dalam rangka penolakan dengan halus ini A.Hasjmy dan kawankawan sebagai "Orang Atjeh Sinbun" tidak melakukan tugas Jepang
untuk pergi ke Bayu Lhoksukon, bersama Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH guna ikut kampanye menghentikan "gerakan Teungku Abdul Jalil".
     Usaha para Hulubalang (Gunco dan Sonco) untuk membujuk Teungku Abdul Jalil agar mengurungkan niatnya yang hendak memberontak terhadap kekuasaan Jepang tidak berhasil sama sekali, sehingga akhirnya Jepang mengambil keputusan untuk menumpas "gerakan Teungku Abdul Jalil" dengan kekuatan senjata.
     Demikianlah, pada tanggal 6 November 1942 Jepang mengirim pasukannya yang cukup banyak ke Bayu dan dengan cepat membangun "kubu pertahanan" behadapan dengan "Dayah Cot Plieng" yang telah menjadi "kubu pertahanan" Teungku Abdul Jaül. Pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi antara dua pasukan yang tidak berimbang persenjataannya, yaitu pasukan Jepang yang mempunyai persenjataan serba modern dan pasukan Teungku Abdul Jalil yang hanya mempunyai persenjataan tradisiona), seperti rencong, keiewang, lembing dan pedang, tetapi ditunjang keimanan yang membaja dan tawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa. Pertempuran yang berlangsung sehari suntuk, terhenti sejenak pada waktu sore, setelah Teungku Abdul Jalil dan pasukannya meninggalkan Dayah Cot Plieng menuju pedalaman, dan dalam pertempuran seru pada hari itu telah meminta korban yang banyak dari kedua pasukan, bahkan dari pihak Jepang seorang Perwira berpangkat Mayor tewas. Perlu dijelaskan bahwa Teungku Abdul Jalil dalam memimpin pertempuran dibantu oleh adiknya Teungku Thaib. Dalam perjalanan mundur, Teungku Abdul Jalil singgah sebentar di Meunasah Baro, kemudian melanjutkan perjalanan ke pedalaman yang lebih jauh dan berhenti di Alue Badeeh untuk menyusun kekuatan kembali sambil menunggu pasukan yang menyusul dari Bayu.
     Pada hari Jum'at tanggal 9 November 1942, Teungku Abdul Jalil dan pasukannya yang telah dibina kembali turun ke Meunasah Blang Buloh, yang jauhnya dari Bayu sekitar 10 km, untuk melakukan Shalat Jum'at'. Shalat Jum'at dianggap Jepang satu kesempatan baik bagi mereka. Dari Bayu Pasukan Jepang yang telah ditambah dan diperkuat menyerbu ke Meunasah Blang Buloh, kebetulan waktu mereka sampai ke sana upacara Shalat Jum'at baru selesai. Tentu tidak dapat dielak lagi, bahwa pertempuran terjadi dengan amat serunya , maksud Jepang hendak menangkap Teungku Abdul Jalil hidup-hidup selagi Shalat Jum'at tidak berhasil.
     Dalam pertempuran yang amat dahsyat, satu lawan satu, di mana tentara Jepang tidak mungkin mempergunakan senapan/senapan mesin lagi, hanya mempergunakan bayonet, sementara para mujahiddin hanya menggunakan senjata sakti rencong. Sungguh pertempuran yang banyak meminta korban di kedua belah pihak. Serdadu-serdadu Jepang yang bersemangat "jibaku" berguguran laksana bunga sakura yang berusia singkat dan pasukan Aceh yang bersemangat "jihad" syahid laksana kembang mawar yang pohonnya berduri. Setelah Panglima Perang Aceh, Teungku Abdul Jalil syahid bersama sebahagian besar para mujahiddinnya, maka pada sore hari pertempuran berhenti dan berhenti pula "Pemberontakan Bayu" yang terkenal itu.
     Menurut Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH (keduanya dari Atjeh Syu Hodoka (Jawatan Penerangan Aceh) yang sengaja dikirim Jepang ke Bayu sebelum terjadi pertempuran, para mujahidin Aceh yang syahid memang cukup banyak, tetapi juga tidak kurang banyaknya tentara Jepang yang gugur, termasuk beberapa orang perwiranya, antaranya seorang Mayor. Kedua orang tersebut menyaksikan betapa heroiknya pasukan Teungku Abdul Jalil bertempur dengan persenjataan yang demikian tidak berimbang. Waktu dalam bulan November 1980, A.Hasjmy bertemu dengan Jenderal Fujiwara di Tokyo, perwira yang telah pensiun dan tua itu menyatakan kekagumannya yang amat sangat akan keberanian pasukan Aceh yang dipimpin Teungku Abdul Jalil.
     Demikian pula, waktu dalam bulan Oktober tahun 1981, A.Hasjmy berjumpa dalam satu pertemuan di Tokyo dengan para perwira Jepang yang pernah bertugas di Aceh, antara lain Sagawa (bekas Kepala Hodoka Jepang di Aceh), mereka menyatakan kepada A.Hasjmy kira-kira demikian : "Kami orang Jepang memang dipuji kenekatannya melakukan jibaku tanpa mengenal takut, tetapi kami rasa bahwa jibaku orang Jepang masih di bawah keberanian orang Aceh yang kami saksikan dalam Pertempuran Bayu dan Pertempuran Pandrah".
     Tentang berapa jumlah serdadu-serdadu Jepang yang gugur tidak ada data tang pasti, tetapi jumlahnya juga banyak, mungkin ratusan. Tetapi, menurut keterangan dari berbagai sumber, antara lain dari Abdurrahman TWH, bahwa para mujahid Aceh yang syahid berjumlah 109 orang, di antaranya Teungku Muhammad Hanafiah, Teungku Muhammad Abbas Punteut, Teungku Badai, Teungku Bidin, Teungku Husin Hayim, Teuku Muda Yusuf, Nyak Mirah.

2.7    Perang Pandrah
     Pada malam Kamis tanggal 2 jalan 3 Mei 1945 di bawah pimpinan Pang Akob 40 Mujahid Lheu Simpang menyerbu tangsi militer Jepang di Pandrah, yang kemudian terkenal dalam sejarah "Heroik Rakyat Indonesia di Aceh" sebagai "Pemberontakan Pandrah". kalau "Perang Bayu" yang terjadi dalam tahun 1942 dapat disebut sebagai ucapan "Selamat datang" kepada Balatentara Jepang yang mengandung peringatan bahwa Rakyat Indonesia tidak bersedia dijajah, maka "Pemberontakan Pandrah" yang terjadi dalam tahun 1945 dapat dikatakan sebagai "selamat Jalan" kepada mereka dengan mengandung pesan bahwa semua penjajah yang berani datang ke Aceh/Indonesia pasti akan disambut dengan perlawanan bersenjata.
     Para ulama/pemimpin yang menggerakkan semangat rakyat untuk berjihad melawan Jepang pada tahun akhir Jepang menduduki Indonesia, disamping mempergunakan "alat peledak" ajaran-ajaran Islam yang anti penjajah, juga mempergunakan suasana yang telah semakin memburuk di mana keganasan tentara Jepang dalam melaksanakan "kerja paksa" sudah sangat menyolok, pengambilan padi dari rakyat sangat menekan dan berbagai kejahatan lainnya yang semakin meningkat. Dalam suasana demikian dan dengan mempergunakan "alat peledak" ajaran Islam, "gunung api" pemberontakan sangat mudah meletus. Hal ini berbeda dengan "Pemberontakan Bayu" pada akhir tahun 1942 yang melulu mempergunakan ajaran Islam sebagai alat penggerak, karena waktu itu kezaliman Jepang belum banyak yang menonjol.
     Para ulama/pemimpin yang menggerakkan "Pemberontakan Pandrah" antara lain, yaitu Teungku Ibrahim Peudada, Teungku Pang Akob, Teungku Nyak Isa, Keuchik Usman, Keuchik Johan dan Teungku Abdul Jalil (bukan Teungku Abdul Jalil Bayu). Kampanye Jihad dilakukan para ulama/pemimpin tersebut dilakukan siang dan malam dan hasilnya sangat efektif. Suasana yang sudah memburuk dan ajaran-ajaran Islam menjadi alat kampanye mereka yang ternyata sangat berhasil.
     Dalam keadaan kampanye Jihad sudah membara, seorang pemuda yang bernama Nyak Umar ditangkap dan dianiaya tentara Jepang, karena dia membangkan terhadap "kerja paksa". Penyiksaan terhadap Nyak Umar yang kemenakan Teungku Pang Akob dari kampong Meunasah Dayah, telah memberi dorongan jihad yang lebih keras lagi kepada pamannya yang memang sedang melakukan kampanye jihad.
     Sebelum pemberontakan dimulai, Teungku Pang Akob pergi bertapa ke sebuah gua yang terletak di Cot Kayee Kunyet, pegunungan Gle Banggalang, sementara rakyat kampung Leu Simpang di bawah pimpinan Keuchik Johan sudah dalam keadaan siap menunggu komando jihad dan pemuda Nyak Umar dengan menyamar sebagai penjual obat mengadakan kampanye jihad berbisik dari kampung ke kampung.
     Muhammad Daud, seorang pemuda yang melarikan diri dari pendidikan Gyungun, melatih para calon mujahid yang akan berjihad di Gle Banggalang. Muhammad Daud meninggalkan tempat latihan kemiliterannya dengan maksud mengambil bahagian dalam pemberontakan yang segera akan terjadi. Para ulama/pemimpin yang menganjurkan "Perang Jihad" terhadap Jepang menyadari bahwa mereka tidak akan memenangkan perang, karena Jepang masih cukup kuat, namun mereka mengatakan kepada rakyat bahwa yang penting ialah balasan Allah di akhirat nanti, bukan kemenangan di dunia, penerangan mana diterima baik oleh rakyat.
     Menurut sebuah informasi, bahwa Teungku Pang Akob belum akan memulai pemberontakan terhadap Jepang "pada tanggal 2 jalan 3 Mei 1945 karena persiapan belum matang betul, tetapi gerakan rahasia mereka telah diketahui Jepang, dan maka terpaksalah pemberontakan dipercepat. Rahasia mereka telah dicium oleh Jepang dapat dibenarkan,
karena sebelum awal Mei itu beberapa petugas Atjeh Syu Hodoka (Jawatan Penerangan Aceh), antaranya Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahan TWH, telah diberitahu untuk siap-siap berangkat ke Jeunib dengan tugas memberi penerangan kepada rakyat tentang maksud Pemerintah Jepang yang akan memberi "kemerdekaan" kepada Bangsa Indonesia, termasuk Aceh. Kali ini, kami dari Atjeh Sinbun tidak diperintahkan ke sana.
     Tetapi, sebelum Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH berangkat, pemberontakan telah dimulai pada tanggal 2 jalan 3 Mei 1945, seperti telah dijelaskan di atas. Sungguhpun demikian, kedua mereka diperintahkan berangkat pada tanggal 3 Mei 1945 dengan tugas untuk memadamkan "api pemberontakan" yang telah menyala. Dalam pertempuran pada malam tersebut, yaitu penyerbuan terhadap "tangsi militer Jepang" di Pandrah, tidak ada para mujahidin yang syahid, sementara tentara Jepang tewas semuanya kecuali satu orang yang dapat melarikan diri ke Jeunib, tempat induk pasukannya. Adapun tujuh orang Gyugun yang berada dalam "Tangsi Pandrah" tidak di apa-apakan. Ada kemungkinan antara para mujahidin yang menyerbu dan para Gyugun yang di dalam telah ada kontak lebih dahulu.
Setelah penyerbuan, para Mujahidin mengundurkan diri kembali ke Markasnya di Gle Banggalang untuk bersiap-siap bagi penyerbuan baru.
     Menurut keterangan Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH, bahwa tentara Jepang tidak segera menyerbu Markas Mujahidin di Gle Banggalang, tetapi mereka berusaha agar para mujahidin itu bersedia menyerah dengan baik dengan perjanjian bahwa mereka tidak
akan dihukum. Dalam usaha membujuk mereka agar bersedia menyerah, bersama-sama utusan lainnya turut Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH.
     Teungku Pang Akob menerangkan kepada utusan, bahwa mereka akan turun menyerah di Meunasah Lheu Simpang Pandrah pada tanggal 5 Mei 1945 dan tentara Jepang tidak perlu naik ke Gle Banggalang. Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman T W H yang menyaksikan
peristiwa pertempuran 5 Mei 1945 itu, menceriterakan kepada staf redaksi Atjeh Sinbun, sebagai berikut : Pada pagi-pagi 5 Mei 1945 itu, di Meunasah Lheu Simpang Pandrah berkumpul para pembesar/perwira Jepang bersama satu pasukan tentara yang dalam keadaan siap perang, di antara mereka terdapat beberapa pejabat orang Indonesia, antaranya Teuku Yakub, Guntyo Bireun, Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH, keduanya dari Atjeh Syu Hodoka.
     Berkumpulnya mereka di Meunasah Lheu Simpang adalah untuk menanti kedatangan Teungku Pang Akob dan pasukannya dalam rangka penyerahan mereka kepada Jepang, sesuai dengan janji. Para pembesar/perwira lagi santai duduk di atas Meunasah, sementara pasukan yang dalam keadaan siap berkeliaran dalam pekarangan Meunasah, tiba-tiba terdengar membahana suara takbir : Allahu Akbar ! Allahu Akbar! Allahhu Akbar ! yang terus menerus dan menakutkan. Suara takbir yang demikian gegap gempita membuat para pembesar/perwira dan pasukan Jepang gugup, kalang kabut dan ketakutan.
     Pada saat panik sedang mencekam mereka, Teungku Pang Akob dengan para mujahidinnya keluar dari "alur yang rimbun ditutupi daun daun pepohonan" dan menyerbu ke Meunasah, sehingga terjadilah pertempuran seru, di mana rencong-rencong yang telah keluar dari sarungnya menancap pada tubuh-tubuh yang masih belum siap untuk mati, tetapi mereka harus mati juga. Menurut penuturannya, bahwa Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH dapat menyelamatkan diri dan terhindar dari kematian, karena kedua mereka, antara sadar dengan tiada, lari ke dalam "alur" yang tidak dalam airnya dan bersembunyi di situ beberapa waktu sampai pertempuran selesai.
     Waktu kami keluar dari alur yang berair siwong (tidak mengalir) itu, di badan kami masing-masing telah bermukim puluhan lintah yang sudah mulai kenyang, demikian kisah Said Ahmad Dahlan. Selain dari beberapa perwira dan sejumlah serdadu Jepang yang tewas, juga Guntyo Bireun, Teuku Yakub, ikut menjadi mangsa rencong hatta mati. Menurut saksi mata, Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH, memang banyak Jepang yang tewas, jumlahnya puluhan sekalipun mereka tidak mengetahui angka yang pasti. Setelah kedua petugas "Hudoka" itu keluar dari "alur" tempat persembunyiannya, mereka melihat di samping tubuh-tubuh Jepang yang bergelimpangan, juga mereka menyaksikan jasad-jasad para mujahidin yang telah rubuh disambar peluru dan bayonet Jepang, yang kemudian
diketahui jumlahnya 44 orang.

2.8    Pemberontakan Gyugun
     Penyerbuan terhadap "Tangsi Pandrah" dan pertempuran dahsyat yang terjadi di Meunasah Lheu Simpang, sangat memarahkan Jepang sehingga pada hari-hari berikutnya mereka melakukan penangkapan sewenang-wenang terhadap rakyat dalam kecamatan Jeunib, yang menurut dugaan mereka tersangkut dalam "Pemberontakan Pandrah". Para mujahid yang ditawan Jepang itu, sebahagiannya, setelah melalui proses pemeriksaan dan penyiksaan, dibebaskan kembali dalam keadaan yang sudah amat parah. Adapun teman-temannya yang berjumlah 24 orang diangkut ke Medan. 12 orang di antara mereka tidak lagi diperiksa, tetapi terus dilaksanakan hukuman mati di sana.
     Mereka yang dihukum mati itu, yaitu : Teungku Abdul Wahab Ali , Teungku Usman Yusuf, Teungku Muhammad Yakub, Teungku Abu' Thalib, Teungku M. Hamzah, Teungku M.Husin Bungong, Teungku Agam Cut, Teungku Abdullah, Teungku Harun, Teungku Husin bin Pawang Usman, Teungku Abdullah Jeumpa Sikureung dan Teungku Abdul Jalil Pang. Adapun teman-temannya yang 12 orang lagi dihukum penjara antara 5 sampai dengan 12 tahun dan dikurung dalam penjara Pematang Siantar. Enam orang di antara mereka yang meninggal dalam penjara karena penganiayaan yang berat, yaitu Teungku Thalib Beungga,
Teungku Badal Husin Peusangan, Teungku Muhammad Aji Yusuf dan Teungku Uyasa Yusuf. Eanam orang lagi yang masih hidup dan pulang ke Aceh setelah Jepang kalah, yaitu Teungku Yahya, Keuchik Muhammad Ali , Teungku Muhammad Ali Tineubok, Teungku Isham Banta Panjang, teungku Ibrahim Beungga dan Teungku Muhammad Hasan Ali.
Adapun Syuhada (para pejuang yang tewas) dalam pertempuran tanggal 5 Mei 1945 di Lheu Simpang (Pandrah), Teungku Siti Aminah, Teungku Ibrahim Meulaboh (suami Siti Aminah), Teungku Mahmud' Ben, Teungku Ismail Rahman, Teungku Sabon Piah, Teungku Usman Lheu, Teungku Muhammad Adam Rifin, Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Muhammad Yusuf gagap, Nyak Abu Bakar Amin, Teungku' Muhammad Amin, Teungku Mat Kasim, Teungku Meulaboh, Teungku Muhammad Hasan Banta, Teungku Sueiman Ali , Teuku Nyak Isa, Teungku Kasim, Teungku Muhammad Yakob, Petua Jalil, Teungku Muhammad Yusuf bin Dayah, Teungku Jalil Ben, Keuchik Johan, Abu Keuchik Lheu, Muhammad Gam, Teungku Saleh Ismail, Teungku Ismail Ahmad, Teungku Mahmud bin Abdurrahman, Teungku Ahmad Itam, Teungku Ibrahim Ali , Nyak Umar Adam, Teungku Abdullah Ben, Teungku Sulaiman Lheu, Teungku Ahmad Gampong Blang, Teungku
Ahmad Usman, Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Ismad Rifm, Teungku Abdullah Gampong Blang, Teungku Saleh ben Tulot, Teungku Ibrahim Husin, Teungku Su'ud Trienggadeng, Teungku Saleh Gampong Blang, Teungku Nyak Zulkifli Yusuf, Teungku Saleh bin Abdurrahman dan syuhada ke-44, yaitu bayi dalam kandungan Siti Aminah.
     Pemberontakan Gyugun Telah dimaklumi bahwa dalam pembentukan "Gyugun" di Aceh
Jepang tidak begitu sulit mendapat pemuda-pemuda untuk menjadi anggota organisasi ketenteraan tersebut, golongan-golongan yang bertentangan yang dihasilkan "politik adu domba" Belanda saling lomba memasukkan pemuda-pemuda pihaknya ke dalam organisasi Jepang itu.
     Hulubalang maupun Ulama PUSA/Pemuda PUSA yang telah secara aktif membentuk "Gyugun" dengan menyerahkan para pemudanya masing-masing, tentu kemudian dipelihara tetap adanya kontak antara mereka dan para pemudanya itu, baik untuk menyampaikan pesan-pesan missi masing-masing maupun untuk keperluan-keperluan lain. Kalau para Ulama PUSA/Pemuda PUSA telah memutuskan untuk melakukan "pemberontakan politik" terhadap Jepang, maka keputusan tersebut harus dimengerti oleh para pemudanya'yang telah ditempatkan dalam Gyugun. Demikian pula sebahagian Hulubalang yang telah ikut dalam "gerakan bawah tanah" Sekutu, berusaha agar para pemudanya dalam Gyugun memahami missi yang mereka jalankan.
     Dengan latar belakang ini, dan ditambah lagi dengan perlakuanperlakuan jelek dari para pelatih Jepang terhadap anggota-anggota Gyugun, maka dalam tahun 1944 timbullah perasaan tidak senang yang meluas dalam kalangan Gyugun terhadap Jepang. Perasaan tidak senang kemudian menjelma menjadi "sikap melawan" terhadap para perwira Jepang yang melatih mereka. Akibatnya, di berbagai tempat pendidikan/latihan Gyugun terjadilah
perkelahian perorangan antara "pelatih" dan anggota Gyugun, kadangkadang perkelahian "kelompok pelatih" dengan kelompok Gyugun.
     Dalam bulan November 1944, "sikap melawan" berobah menjadi "pemberontakan" di Tangsi Gyugun Jangkabuya, dalam bentuk minggat dari induk dengan membawa senjata.
Tiga orang perwira Gyugun dari Tangsi Jangkabuya, yaitu Teuku Abdulhamid, Teuku Muhammad Ali dan Hasan Ismail memimpin peminggat tersebut dan melarikan diri ke daerah pegunungan. Dari kenyataan kemudian, dapat disimpulkan bahwa gerakan pemberontak Gyugun Jangkabuya belum matang betul, kelihatannya mereka tidak/kurang mengadakan kontak dengan para Gyugun di Tangsi-Tangsi yang lain.
     Kekurang matang "gerakan pemberontak" mereka terpahami dari penyerahan mereka kepada Jepang, setelah pihak penguasa Jepang mengancam akan membunuh ahli famili mereka kalau mereka tidak menyerah. Sungguhpun gerakan tidak berhasil sebagai suatu pemberontakan, namun peristiwa tersebut mempunyai arti yang sangat penting bila dirangkaikan dalam mata rantai Pemberontakan Rakyat Aceh terhadap lepang, bahkan Pemberontakan Gyugun Jangkabuya itu telah membuat sistem pertahanan Jepang menjadi lemah.















BAB III
PENUTUP


3.1    Kesimpulan
     Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat senjata memerangi Jepang.
     Jepang berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.
     Telah menjadi fakta sejarah, tidak ada penjajah yang baik, yang ada hanya penjajah yang kurang jahat dibandingkan dengan penjajah yang lebih jahat. Telah menjadi fakta sejarah pula, tidak ada rakyat terjajah yang rela tanah airnya dijajah. Yang ada hanya rakyat yang terjajah yang kurang revolusioner perjuangannyamelawan penjajah dibandingkan dengan rakyat terjajah yang melawan penjajah dengan angkatan senjata terhadap Jepang di Bayu dan Pandrah.

3.2    Saran
      Saran kami sebagai penulis adalah cobalah untuk kita pahami akan sejarah bangsa Indonesia. kaji kembali tentang sejarah kesultanan di Aceh dan mencoba menguak kembali di mana peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Aceh



s=Ms� V\m l �m� �� nter style='text-align:center;tab-stops:174.0pt'> 
BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
            Pembelajaran tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Keterpaduan pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum, dan aspek belajar mengajar.
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam proses belajar secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dan  terlatih untuk dapat  menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya. Melalui pengalaman langsung  siswa akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari dan menghubungkannya dengan konsep lain yang telah dipahaminya. Teori pembelajaran ini dimotori para tokoh Psikologi Gestalt, termasuk Piaget yang menekankan bahwa pembelajaran haruslah bermakna dan berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan anak.
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau merancang pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa. Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan.

B.       Saran
      Saran kami sebagai penulis adalah cobalah untuk lakukan dengan baik bagaimana prinsip-prinsip pembelajaran tematik dan hakikat dari pembelajaran tematik itu sendiri.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar