BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Aceh yang terkenal dengan sebutan, “Kota Serambi Mekkah”
merupakan tempat di mana berkembangnya agama Islam pertama di Indonesia.
Diperlihatkan dari letak geografisnya, dimana Aceh sendiri terletak di ujung
barat Pulau Sumatera dan dekat dengan Selat Malaka yang saat itu menjadi pintu
pusat lalu lalangnya kapal-kapal saudagar antara belahan bumi Barat dan Timur
dapat diperhitungkan sejak awal abad ke 1 atau paling lambat masa mula
berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Seperti yang tertulis dalam buku H Mohammad
Said, Aceh Sepanjang Abad jilid I.
Sebelum masuknya agama Islam ke Aceh, terlebih dahulu
sudah ada agama serta kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan budha di Aceh.
Beberapa kerajaan yang dulu pernah bercorak Hindu seperti, Kerajaan Laut Bangko
(Kluet) di Aceh Selatan, Kerajaan Sama Indra (Pedir) yang berada di Pidie,
Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra,
Indrapurwa yang berada di Aceh Besar dan Indrajaya yang dikenal sebagai
kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.
Kembali kesejarah masa lalu, dimana pengaruh agama Hindu
masuk pertama ke Aceh yang datang dari India sekitar 2500 tahun yang lalu, di
Aceh mereka telah membuat perkampungan, mereka sendiri datang melalui pesisir
pantai Utara Aceh. Pengaruh Hindu di Aceh telah terjadi sejak zaman purba
seperti yang ditulis oleh ahli-ahli ketimuran Belanda dalam beberapa buku
tentang sejarah budaya Aceh (Prof Dr H Aboebakar, Aceh 1972). Dan ada juga
beberapa penemuan berupa guci-guci yang berisi abu jenazah di Lamno Daya (Aceh
Jaya) serta beberapa cerita dari masyarakat tentang pahlawan syah yang terus
hidup di negeri itu.
Penduduk Aceh merupakan keturunan dari berbagai suku,
kaum dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham,
Cochin, dan Kamboka. Di samping itu banyak juga bangsa-bangsa asing di tanah
Aceh, seperti bangsa Arab, India dan Cina dikenal erat hubungannya pasca
penyebaran agama Islam di Aceh.
Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik
oleh orang Aceh karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating
bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu mengusir
Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas
dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat
senjata memerangi Jepang.
Jepang berada
di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh
dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran
yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu
di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah
membebaskan Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.
1.2 Rumusan Masalah
Dilihat dari latar belakang diatas adapun rumusan
masalahnya, yaitu :
1.
Siapakah suku Aceh ?
2.
Bagaimana
sejarah
daerah Aceh ?
3.
Bagaimanakah Kesultanan Aceh
Darussalam ?
4.
Siapakan yang pernah mendatangi
atau singgah wilayah Aceh ?
5.
Bagaimanakah kedatangan Jepang ke
Aceh ?
6.
Bagaimanakah
reaksi masyarakat Aceh terhadap kedatangan bangsa Jepang ?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.3.1. Tujuan Penulisan
Tujuan utama
pembuatan makalah ini untuk memenuhi nilai mata kuliah Sejarah
Nasional Indonesia II. Selanjutnya
untuk memaparkan tentang peristiwa-peritiwa yang terjadi
di Aceh akibat dari datangnya bangsa Jepang yang ingin menguasai wilayah Aceh.
1.3.2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari
penulisan makalah ini adalah penulisan dan pembaca lebih memahami mengenai
peristiwa-peritiwa
yang terjadi di Aceh akibat dari datangnya bangsa Jepang yang ingin menguasai
wilayah Aceh.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Suku Aceh
Suku Aceh berasal dari pendatang Melayu Tua (Proto-Malay)
dan Melayu Muda (Deutero-malay). Golongan Melayu Tua ini membawa kemampuan yang
lebih maju dari pendahulunya, meski dengan perkakas serba batu. Mereka berkulit
sawo matang seperti orang Mongol, sekarang keturunannya orang Gayo dan Alas.
Menjelang permulaan abad masehi datang Melayu Muda,
Melayu Tua menyingkir kepedalaman, sedangkan Melayu Muda yang memang keturunan penduduk asal Indo
China, khususnya dari Champa atau Khmer (Kamboja) yang kemampuannya lebih
tinggi dari Melayu Muda. Keturunan mereka kemudian menempati wilayah pesisir
sekeliling Aceh. Dan golongan Melayu Muda inilah yang aktif berhubungan dengan
orang-orang asing, baik Karena didatangi maupun mendatangi.
Menurut penelitian G. K. Nieman dari unsur linguistik:
bahasa Aceh banyak kesamaan dengan bahasa Campa dari Indo China, maka dia
mengajukan dugaan bahwa sebagian penduduk Aceh mungkin berasal dari perpindahan
negeri Campa.
2.2 Sejarah Aceh
Dalam abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat
penting sebagai daerah transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat.
Komoditi dagang dari nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda,
cengkeh dari Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini
menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negeni. Aceh sebagai bandar paling
penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai
negara.
Aceh juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama
Islam ke nusantara. Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India
yang beragama Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai
komoditi dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran
internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia Tenggara.
Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri sebuah kerajaan besar
yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling penting bagi perdagangan,
namun juga sebagai pusat penyebaran agama Islam baik ke Nusantara maupun luar
negeri.
Kabupaten
Bireuen dalam catatan sejarah dikenal sebagai daerah Jeumpa. Dahulu Jeumpa
merupakan sebuah kerajaan kecil di Aceh. Menurut Ibrahim Abduh dalam Ikhtisar
Radja Jeumpa, Kerajaan Jeumpa terletak di di Desa Blang Seupeung, Kecamatan
Jeumpa, Kabupaten Bireuen.Secara geografis, kerajaan Jeumpa terletak di daerah
perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante
Krueng Peusangan di sebelah timur.
Aceh yang terkenal dengan sebutan, “Kota Serambi Mekkah”
merupakan tempat di mana berkembangnya agama Islam pertama di Indonesia.
Diperlihatkan dari letak geografisnya, dimana Aceh sendiri terletak di ujung
barat Pulau Sumatera dan dekat dengan Selat Malaka yang saat itu menjadi pintu
pusat lalu lalangnya kapal-kapal saudagar antara belahan bumi Barat dan Timur
dapat diperhitungkan sejak awal abad ke 1 atau paling lambat masa mula
berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Seperti yang tertulis dalam buku H Mohammad
Said, Aceh Sepanjang Abad jilid I.
Namun dengan
sendirinya meningkat lalulintas perdagangan dan kemampuan hidup masyarakat
sekaligus memungkinkan terbangunnya suatu pemerintahan atau kerajaan. Sumatera
sudah kaya akan hasil Bumi dan Alamnya jadi tidak salah pada masa itu bangsa
India menyebutnya dengan sebutan Swarnadwipa (Pulau Emas). Selain berdagang,
para saudagar-saudagar tersebut juga pelan-pelan menyebarkan agama yang mereka
pahami dan bawa dari bangsa mereka, salah satunya yaitu agama Islam, Budha dan
Hindu.
Sebelum masuknya agama Islam ke Aceh, terlebih dahulu
sudah ada agama serta kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan budha di Aceh.
Beberapa kerajaan yang dulu pernah bercorak Hindu seperti, Kerajaan Laut Bangko
(Kluet) di Aceh Selatan, Kerajaan Sama Indra (Pedir) yang berada di Pidie,
Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra,
Indrapurwa yang berada di Aceh Besar dan Indrajaya yang dikenal sebagai
kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.
Kembali kesejarah masa lalu, dimana pengaruh agama Hindu
masuk pertama ke Aceh yang datang dari India sekitar 2500 tahun yang lalu, di
Aceh mereka telah membuat perkampungan, mereka sendiri datang melalui pesisir
pantai Utara Aceh. Pengaruh Hindu di Aceh telah terjadi sejak zaman purba
seperti yang ditulis oleh ahli-ahli ketimuran Belanda dalam beberapa buku
tentang sejarah budaya Aceh (Prof Dr H Aboebakar, Aceh 1972). Dan ada juga
beberapa penemuan berupa guci-guci yang berisi abu jenazah di Lamno Daya (Aceh
Jaya) serta beberapa cerita dari masyarakat tentang pahlawan syah yang terus
hidup di negeri itu.
Penduduk Aceh merupakan keturunan dari berbagai suku,
kaum dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham,
Cochin, dan Kamboka. Di samping itu banyak juga bangsa-bangsa asing di tanah
Aceh, seperti bangsa Arab, India dan Cina dikenal erat hubungannya pasca
penyebaran agama Islam di Aceh.
Seperti yang kita ketahui bangsa Arab dan India terkenal
dengan kebiasaan berdagangnya. Bangsa Arab yang datang dan tinggal di Aceh
banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan
marga-marga mereka seperti Al-Aydrus, Al-Habsyi, Al- Attas, Al-Kathiri,
Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain-lain yang semuanya merupakan bangsa Arab
asal Yaman. Sedangkan bangsa India dibuktikan dengan penampilan bangsa Aceh,
serta variasi makanan (kari), dan juga kebudayaan Hindu Tua (nama-nama desa
yang diambil dari bahasa Hindi, contoh Indra Puri. Keturunan India dapat
ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan meka
keturunan India cukup dominan di Aceh. Sedangkan pedagang Tiongkok juga pernah
memiliki hubungan erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan
Laksamana Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahkan Aceh dengan sebuah
lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, yang
sekarang tersimpan di Museum Aceh, Banda Aceh.
Semenjak itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok
cukup mesra, dan pelaut-pelaut tiongkokpun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan
transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa. Selain itu juga banyak
keurunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki. Mereka pernah datang atas
undangn Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatihan prajurit dan
serdadu perang kerajaan Aceh dan saat ini keturunan-keturunan mereka kebanyakan
tersebar di wilayah Aceh Besar.
Hingga sampai saat ini bangsa Aceh sangat menyukai
nama-nama warisan dari Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda yang asrtinya
pelabuhan, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa Persia. Di
samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis di wilayah Kuala Daya, Lam No
(Pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di
bawah pimpinan nahkoda Kapten Pinto, yang saat itu hendak berlayar menuju
Malaka (Malaysia). Mereka sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, dan
sebagian diantara mereka tetap tinggal dan menetap di Lam No.
Dalam sejarah tercatat tentang peristiwa ini terjadi
antara tahun 1492-1511, pada saat itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil
Lam No. Dengan sang raja bernama Raja Meureuhom Daya. Hingga saat ini masih
dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang
masih kental.
2.3 Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam memulai pemerintahannya ketika
Kerajaan Samudera Pasai sedang berada di ambang keruntuhan. Samudera Pasai
diserang oleh Kerajaan Majapahit hingga mengalami kemunduran pada sekitar abad
ke-14, tepatnya pada 1360. Pada masa akhir riwayat kerajaan Islam pertama di
nusantara itulah benih-benih Kesultanan Aceh Darussalam mulai lahir. Kesultanan
Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha
yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa,
Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri).
Dari penemuan yang dilacak berdasarkan penelitian
batu-batu nisan yang berhasil ditemukan, yaitu dari batu nisan Sultan Firman
Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat
keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). Pendiri
sekaligus penguasa pertama Kesultanan Aceh adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang
dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 Hijriah atau tanggal 8 September 1507
Masehi.
Keterangan mengenai keberadaaan Kesultanan Aceh
Darussalam semakin terkuak dengan ditemukannya batu nisan yang ternyata adalah
makam Sultan Ali Mughayat Syah. Di batu nisan pendiri Kesultanan Aceh
Darussalam yang berada di Kandang XII Banda Aceh ini, disebutkan bahwa Sultan
Ali Mughayat Syah meninggal dunia pada 12 Dzulhijah tahun 936 Hijriah atau pada
7 Agustus 1530. Selain itu, ditemukan juga batu nisan lain di Kota Alam, yang
merupakan makam ayah Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Syamsu Syah, yang
menyebutkan bahwa Syamsu Syah wafat pada 14 Muharram 737 Hijriah. Sebuah batu
nisan lagi yang ditemukan di Kuta Alam adalah makam Raja Ibrahim yang kemudian
diketahui bahwa ia adalah adik dari Sultan Ali Mughayat Syah.
Menurut catatan yang tergurat dalam prasasti itu, Raja
Ibrahim meninggal dunia pada 21 Muharram tahun 930 Hijriah atau bertepatan
dengan tanggal 30 November 1523. Raja Ibrahim merupakan tangan kanan Sultan Ali
Mughayat Syah yang paling berani dan setia. Ibrahimlah yang memimpin
serangan-serangan Aceh Darussalam terhadap Portugis, Pedir, Daya, dan Samudera
Pasai, hingga akhirnya Ibrahim gugur sebagai pahlawan dalam pertempuran besar
itu. Tanggal-tanggal yang ditemukan di prasasti-prasasti di atas dengan
sendirinya mengandung arti untuk dijadikan pegangan dalam menentukan jalannya
catatan sejarah di Aceh dalam masa-masa yang dimaksud (H. Mohammad Said a,
1981:157).
Aceh adalah
wilayah yang besar dan dihuni oleh beberapa pemerintahan besar pula. Selain
Kesultanan Aceh Darussalam dan Samudera Pasai, di tanah ini telah berdiri pula
Kerajaan Islam Lamuri selain Kesultanan Malaka yang memiliki peradaban besar di
Selat Malaka. Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam tidak lepas dari eksistensi
Kerajaan Islam Lamuri. Salah seorang sultan yang terkenal dari Kerajaan Islam
Lamuri adalah Sultan Munawwar Syah. Sultan inilah yang kemudian dianggap
sebagai moyangnya Sultan Aceh Darussalam yang terhebat, yakni Sultan Iskandar
Muda. Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan
kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke
Mahkota Alam, yang dalam perkembangannya menjadi Kesultanan Aceh Darussalam (Rusdi
Sufi & Agus Budi Wibowo a, 2006:72-73).
Sejarah
Kesultanan Aceh Darussalam ternyata tidak termasuk dalam sejarah Islam pada
umumnya dalam keseluruhan sejarah universal. Dalam hikayat Aceh seperti yang
dianalis Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul “Kerajaan Aceh Zaman Sultan
Iskandar Muda (1607-1636)”, bab mengenai Kesultanan Aceh Darussalam hanyalah
satu keping dari pekerjaan tatahan, satu batu dari gedung yang lebih besar,
tetapi tertumpu pada tokoh satu orang, yaitu Sultan Iskandar Muda. Sultan terbesar
dari Aceh ini justru bukan merupakan pemimpin dari generasi awal Kesultanan
Aceh Darussalam. Meski siapa penulis Hikayat Aceh tidak diketahui dan tidak
tersimpan pula tanggal mengenai penyusunan karyanya, namun bisa dikatakan bahwa
Hikayat Aceh tersebut disusun selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636) dan bahwa raja itu menyuruh salah seorang pujangga istananya untuk
menyusun riwayat hidupnya (Denys Lombard, 2007:43).
Mengenai
asal-usul Aceh sendiri masih belum dapat dikuak dengan jelas karena, selain
banyaknya versi, sedikit banyak sumber yang menjelaskan tentang riwayat Aceh
masih sebatas mitos atau cerita rakyat. Masih menurut Lombard, sumber sejarah
mengenai asal-usul Aceh yang berupa cerita-cerita turun-temurun tersebut sukar
diperiksa kebenarannya. Mitos tentang orang Aceh, tulis Lombard, misalnya
seperti yang dikisahkan oleh seorang pengelana Barat yang sempat singgah di
Aceh. John Davis, nama musafir itu, mencatat bahwa orang Aceh mengganggap diri
mereka keturunan dari Imael dan Hagar (Nabi Ismail dan Siti Hajar).
Tiga abad
kemudian, Snouck Hugronje mengungkapkan bahwa dia telah mendengar cerita
tentang seorang ulama sekaligus hulubalang bernama Teungku Kutakarang (wafat
pada November 1895), yang menganggap orang Aceh lahir dari percampuran dari
orang Arab, Persi, dan Turki. Menurut analisis Lombard, hegemoni semacam ini
sengaja diciptakan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah Eropa (Lombard,
2007:62).
Dalam buku
karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo yang berjudul “Kerajaan-kerajaan Islam di
Aceh” (2006), dikemukakan bahwa yang disebut Aceh ialah daerah yang sempat
dinamakan sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebelumnya bernama
Provinsi Daerah Istimewa Aceh). Tetapi pada masa Aceh masih sebagai sebuah kerajaan/kesultanan,
yang dimaksud dengan Aceh ialah yang sekarang dikenal dengan Kabupaten Aceh
Besar atau dalam bahasa Aceh disebut Aceh Rayeuk Untuk nama ini, ada juga yang
menyebutkan nama "Aceh Lhee Sagoe" (Aceh Tiga Sagi). Selain itu,
terdapat pula yang menggunakan Aceh Inti (Aceh Proper) atau “Aceh yang
sebenarnya” karena daerah itulah yang pada mulanya menjadi inti Kesultanan Aceh
Darussalam dan juga letak ibukotanya," untuk menamakan Aceh.
Nama Aceh
sering juga digunakan oleh orang-orang Aceh untuk menyebut ibukota kerajaannya,
yakni yang bernama Bandar Aceh atau secara lengkapnya bernama Bandar Aceh
Darussalam. Tentang nama Aceh belum ada suatu kepastian dari mana asal dan
kapan nama Aceh itu mulai digunakan. Orang-orang asing yang pernah datang ke Aceh
menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Orang-orang Portugis dan Italia
menyebutnya dengan nama “Achem”, “Achen”, dan “Aceh”, orang Arab menyebut
“Asyi”. “Dachem”, “Dagin”, dan Dacin”, sedangkan orang Cina menyebutnya dengan
nama “Atje” dan “Tashi” (Sufi & Wibowo a, 2006:73-74).
Sepanjang
riwayat dari awal berdiri hingga keruntuhannya, Kesultanan Aceh Darussalam
tercatat telah berganti sultan hingga tigapuluh kali lebih. Berikut ini
silsilah para sultan/sultanah yang pernah berkuasa di Kesultanan Aceh Darussalam
:
1.
Sulthan
Ali Mughayat Syah (1496-1528)
2.
Sulthan
Salah ad-Din (1528-1537)
3.
Sulthan
Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahar (1537-1568)
4.
Sulthan
Husin Ibnu Sultan Alauddin Ri`ayat Syah (1568-1575)
5.
Sulthan
Muda (1575)
6.
Sulthan
Sri Alam (1575-1576)
7.
Sulthan
Zain Al-Abidin (1576-1577)
8.
Sulthan
Ala al-din mansyur syah (1576-1577)
9.
Sulthan
Buyong atau Sultan Ali Ri`ayat Syah Putra (1589-1596)
10. Sulthan Ala`udin Ri`ayat Syah Said Al-Mukammal Ibnu
(1596-1604)
11. Sulthan Ali Riayat Syah (1604-1607)
12. Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam
(1607-1636)
13. Sulthan Iskandar Tsani (1636-1641)
14. Sulthanah (Ratu) Tsafiatu' ddin Taj 'Al-Alam / Puteri Sri
Alam (1641-1675)
15. Sulthanah (Ratu) Naqi al-Din Nur Alam (1675-1678)
16. Sulthanah (Ratu) Zaqi al-Din Inayat Syah (1678-1688)
17. Sulthanah (Ratu) Kamalat Sayah Zinat al-Din (1688-1699)
18. Sulthan Badr al-Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din
(1699-1702)
19. Sulthan Perkasa Alam Syarif Lamtui (1702-1703)
20. Sulthan Jamal al-Alam Badr al-Munir (1703-1726)
21. Sulthan Jauhar al-Alam Amin al-Din (1726)
22. Sulthan Syams al-Alam (1726-1727)
23. Sulthan Ala al-Din Ahmad Syah (1723-1735)
24. Sulthan Ala al-Din Johan Syah (1735-1760)
25. Sulthan Mahmud Syah (1760-1781)
26. Sulthan Badr al-Din (1781-1785)
27. Sulthan Sulaiman Syah (1785-1791)
28. Sulthan Alauddin Muhammad Daud Syah (1791-1795)
29. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1795-1815)
30. Sulthan Syarif Saif al-Alam (1815-1818)
31. Sulthan Ala al-Din Jauhar Alam Syah (1818-1824)
32. Sulthan Muhammad Syah (1824-1838)
33. Sulthan Sulaiman Syah (1838-1857)
34. Sulthan Mansyur Syah (1857-1870)
35. Sulthan Mahmud Syah (1870-1874)
36. Sulthan Muhammad Daud Syah (1874-1903)
( Catatan : Sulthan Aceh Ke-29 dan 31
adalah orang yang sama )
2.4 Bangsa Pendatang Di Aceh
Ada beberapa bangsa
yang pernah singgah di wilayah Aceh, kaum pendatang tersebut ada yang bertujuan
untuk urusan perniagaan maupun untuk urusan-urusan lain seperti untuk menguasai
wilayah Aceh dan lain sebagainya.
Portugis
pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan Pedir
(Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511 Portugis
menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan Aceh marah.
Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya untuk membebaskan kembali Malaka dari
tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak tentara Kerajaan Aceh yang
gugur dan dikebumikan disana. Menurut sumber yang dapat dipercaya Syech
Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang ulama besar Aceh tewas dalam suatu
peperangan dengan Portugis di Malaka dan kuburannya ada disana.
Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636),
barulah Malaka bisa dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur
perdagangan di Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam.
Pada saat itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga banyak
ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di Aceh. Bukti
sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu nisan orang Turki yang
ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).
Pada tanggal
21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh Cornelis De
Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh. Namun karena orang
Aceh mengira bahwa Belanda tersebut Portugis mereka menyerang kapal itu dan
membunuh Cornelis De Houteman serta menawan Frederick De Houteman.
Selanjutnya tahun
1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald De Roy dikirim
ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan kerjasama dengan
Kerajaan Aceh. Utusan tersebut disambut balk oleh Sultan Aceh dan menanda
tangani hubungan kerjasama itu. Ketika Gerald De Roy kembali pulang ke Belanda,
Sultan Aceh mengirim dua orang duta ke Belanda. Salah satu dari duta tersebut
yaitu Abdul Hamid (sumber lain menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda
dan kuburannya ada di Middleburg, Belanda.
Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke
Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan.
Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan
kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.
Namun demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda
memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal
14 April 1873. Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam
sejarah dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah menelan
jutaan nyawa.
Aceh mengadakan hubungan dengan bangsa Tiongkok yaitu : pembangunan
Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor
Tionghoa yang bernama Lie A Sie Catatan
sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan kerajaan di Aceh, didapati
dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan sejarah dinasti
Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang terletak di Sumatra
Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan beragama Budha. Pada abad ke-13
teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan
Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa
raja Samudra-Pasai mengirim dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok.
Didalam catatan Ma
Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan Laksamana Cheng Ho,
dicatat dengan lengkap mengenai kota kota di Aceh seperti, A-lu (Aru),
Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li (Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao
(penelitian laut-laut timur dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun
1618, terdapat sebuah catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Catatan pada awal Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatera seperti
samudra, Lamuri, Pereulak, Tamiang, dan haru. Tamiang dan Haru memang dipaksa
oleh Mongol untuk mengirimkan upetinya. Kerajaan Samudra mulai mengadakan
hubungan dengan Dinasti Mongol pada tahun 1282. Pada tahun itu penguasa Pasai
menjalin hubungan dengan Cinamelalui perutusan Cina yang kembali dari India
Selatan dan singgah di Samudra. Hubungan diplomatik tersebut sangat akrab
sehingga raja Tiongkok pada waktu itu menyerahkan cenderamata kepada raja Pasai
yaitu Lonceng Cakradonya.
Aceh melakukan hubungan dengan India merupakan suatu kontak
dagang yang dibina sejak integrasinya sebagian bangsa India ke Aceh. Hubungan
dagang tersebut saling menguntungkan terutama bagi bangsa India. Raja Golkunda
mengekspor banyak besi dan baja, kain putih dan beberapa intan ke Aceh lewat
Masulipatam. Sebagai gantainya ia mengimpor kemenyan dan kapur.
2.5 Kedatangan Jepang ke Aceh
Pada awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke
Aceh oleh Ratu Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan.
Utusan tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan
kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.
Namun demikian
karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas Kerajaan Aceh
Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873. Perang antara Belanda
dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam sejarah dunia yaitu lebih kurang 69
tahun (1873 -1942) yang telah menelan jutaan nyawa.
Pada tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik
oleh orang Aceh karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating
bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu mengusir
Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas
dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan mengangkat
senjata memerangi Jepang.
Jepang berada
di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh
dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran
yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu
di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah
membebaskan Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.
“Tentara
Hindia Belanda dan orang-orang Belanda sudah tidak ada lagi di Banda Aceh, dua
hari yang lalu mereka telah pergi. Orang-orang KNIL yang berbangsa Indonesia
(Jawa, Ambon, dan Manado) banyak yang lari dari tangsi dan menanggalkan bajunya
mereka meminta perlindungan di kampung-kampung. Banda Aceh pada tanggal 12
Maret 1942 sudah menjadi kota terbuka, karena semenjak pagi para polisi Hindia
Belanda menanggalkan baju mereka dan bersembunyi di rumahrumah mereka, sehingga
rakyat bebas mengambil apa saja yang ditinggalkan Belanda, baik di rumah-rumah maupun
di kantor-kantor dan gudang-gudang perusahaan. Serdadu-serdadu Jepang yang pada
waktu tengah hari masuk kota, membiarkan saja keadaan demikian rakyat
beramai-ramai mengambil harta
rampasan ...”
Para pemimpin Perang Gerilya pada tanggal
13 Maret 1942, dengan dijemput Said Abubakar meninggalkan Markas Gerilya di
Data Coo, dan setelah bermalam satu malam di Seulimeum menuju Sigli untuk
menjumpai Teungku Muhammad Daud Bereueh (Ketua Pengurus Besar PUSA) dan para
anggota Pengurus PUSA lainnya.
Di Sigli berjumpa dengan S. Matsubuci,
seorang Pemimpin Fujiwarakikan, yang ditugaskan segera ke Aceh untuk membentuk
Pemerintahan Pantadbiran Militer Jepang sementara malamnya, S. Matsubuci
bersama beberapa anggota Pengurus Besar PUSA dan Mujahiddin yang baru turun
dari kaki Bukit Barisan berangkat ke Banda Aceh. Berhubung hotel-hotel sudah
tidak ada lagi yang mengurus, maka semua (termasuk S. Matsubuci) pergi ke
kampong Alue (Dayah Geulumpang) dan di sana menginap di rumah Teungku Muhammad
Yunus Jamil (salah seorang tokoh Fujiwarakikan).
Besoknya mereka menuju ke Banda Aceh, di
mana didapati kota sudah tidak terurus, rumah-rumah dan gedung-gedung yang
ditinggalkan Belanda berantakan, apa
yang ada di dalamnya diangkut rakyat beramai-ramai, baik mereka penghuni kota
maupun mereka yang datang dari kampung-kampung yang jauh. Polisi yang
seharusnya menjaga ketertiban sudah tidak kelihatan, mereka telah menanggalkan
baju dinasnya dan mungkin sekali bahwa mereka yang telah memakai baju
"preman" ikut mengambil harta rampasan perang. Kalau dalam kota pada
hari itu, orang beramai-ramai berpesta pora dengan harta rampasan
"perang", maka rakyat banyak di luar kota, dipinggir laut tempat
pendaratan tentara Jepang, dan di sepanjang jalan yang dilalui pasukan-pasukan
tentara Jepang yang baru mendarat, mereka menyambut "saudara tua" itu
dengan kelapa muda dan nasi bungkus dan bahkan banyak yang memberikan sepedanya
yang diminta serdadu-serdadu yang sepedanya telah kempis atau memang tidak mempunyai
sepeda.
Rakyat umum yang di kampung-kampung,
kecuali sedikit yang telah ke kota, tidak menghiraukan "harta rampasan
perang" di kota, karena mereka berkeyakinan bahwa dalam waktu dekat
kapal-kapal dagang Jepang akan membawa bahan pakaian dan barang-barang
keperluan hidup
lainnya yang akan dijual dengan harga murah, bahkan ada yang mengira bahwa
bahan-bahan pakaian itu nanti akan dibagibagi tanpa bayar, karena Aceh telah memberontak
terhadap Belanda dan telah membantu tentara Jepang. Ini salah satu sebab yang
menyebabkan pada satu waktu nanti rakyat kecewa dan marah kepada Jepang.
Pada tahun pertama Jepang menduduki Aceh,
politik dua muka yang dijalankannya memang berhasil. Dengan muka yang satu
Jepang memandang para Ulama dengan senyum manis dan seakan-akan hanya itu saja
mukanya. Sebaliknya, muka yang lain Jepang menyapa Hulubalang dengan senyum
simpul, seakan-akan hanya itu sajalah mukanya. Pada mulanya, baik Hulubalang
maupun Ulama tidak mengetahui bahwa "muka Jepang" yang berhadapan
dengan mereka itu adalah "muka palsu", sedangkan "muka yang
asli" bermukim di balik "muka palsu" itu.
Dengan "politik dua muka" itu
Jepang mempergunakan Hulubalang untuk memaksa rakyat agar menyerahkan padinya
kepada BDK (Badan Kumpul dan Bagi) yang telah dibentuk Jepang, agar mau bekerja
keras (paksa) untuk membikin jalan, lapangan terbang, bentengbenteng pertahanan
dan sebagainya.
Dengan "politik dua muka" itu
pula Jepang dapat mempergunakan lidah Ulama agar mendakwahkan rakyat bahwa
penyerahan padi, pembuatan lapangan terbang, jalan-jalan, bentengbenteng
pertahanan dan sebagainya adalah untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya, yang
nantinya akan menjadikan Asia Makmur, rakyatrakyat Asia merdeka dan senang.
Dengan cara yang tidak disadari dan halus, sewaktu-waktu Jepang membiarkan
Hulubalang menangkap rakyat. Dipihak lain, dengan halus dan tidak terasa Jepang
memberi sugesti kepada badanbadan pengadilan yang pada umumnya dipegang para
Ulama, agar melaksanakan keadilan terhadap rakyat tertindas dan teraniaya,
sehingga dengan demikian rakyat yang ditangkap Hulubalang dibebaskan Ulama
lewat pengadilan.
Politik "dua muka" Jepang cepat
disadari para Ulama PUSA/Pemuda PUSA, sehingga pada awal sejarah pendudukan
Jepang di Indonesia, para Ulama Pimpinan PUSA/Pemuda PUSA telah melakukan
semacam "pemberontakan politik" terhadap Jepang, yang menyebabkan
sejumlah pimpinan PUSA/Pemuda PUSA ditangkap dan ditahan dalam tahanan Kempetai
beberapa waktu. Mengapa para Ulama PUSA/Pemuda PUSA yang cepat menyadari akan
bahaya dan jahatnya "politik dua muka" Jepang ? Mungkin karena para
pemimpin PUSA/Pemuda PUSA dalam menetapkan "kebijaksanaan kerjasama"
dengan Jepang dahulunya, juga telah digariskan batas-batas yang tidak boleh dilewatinya
dalam
pelaksanaan
kerjasama.
Sekalipun pemberontakan PUSA/Pemuda PUSA
terhadp Jepang sifatnya hanya politik, namun dampaknya sangat jauh dan
mendalam. Dengan pemberontakan politik itu, para pemimpin PUSA/Pemuda PUSA
seakan-akan mengatakan kepada rakyat bahwa kerjasama dengan Jepang hanya sampai
disini, dan kepada para Ulama/Pemimpin di luar PUSA/Pemuda PUSA seperti
mengisyaratkan bahwa Jepang bukanlah "teman" orang Aceh.
Pemberontakan politik yang dilakukan
PUSA/Pemuda PUSA terhadap Jepang, telah memberanikan sebahagian rakyat untuk
menolak penyerahan padi, membangkang terhadap perintah kerja paksa/gotong
royong yang disuruh Jepang lewat Hulubalang. Hal ini, pada waktunya
membangkitkan kemarahan sebahagian Hulubalang, sehingga merekapun
mencari jalan
sendiri untuk melawan/memberontak terhadap Jepang.
Para ulama di luar PUSA/Pemuda PUSA yang
sejak semula menolak kerjasama dengan Jepang dan memandang Jepang kalau tidak
lebih jahat sama dengan Belanda, melihat pemberontakan fisik seperti yang telah
dilakukan terhadap Belanda. Hal ini, mungkin telah
mendorong mereka
untuk mendahului PUSA/Pemuda PUSA dalam hal memerangi Jepang dengan senjata.
Telah dijelaskan bahwa "politik dua
muka" Jepang telah memarahkan sebahagian Hulubalang, bahkan telah
mendorong mereka untuk melawan Jepang. Dalam tahun 1943 dan 1944, Sekutu aktif
mengadakan kontak dengan para Hulubalang yang telah marah tadi. Lewat kapal
selam, Sekutu mendaratkan sejumlah spionnya di pantai-pantai Aceh, dan
spion-spion inilah yang memberi perintah-perintah apa yang harus dikerjakan
para kakitangan mereka. Kepada para kakitangan tidak disuruh memberontak dengan
senjata, tetapi mereka diperintahkan agar melakukan sabotase dalam segala
kesempatan dan kemungkinan. Sasaran sabotase mereka, yaitu alat-alat perhubungan,
seperti kereta api, telepon dan alat-alat pemancar. Yang tidak kurang
pentingnya, mereka diperintahkan agar melakukan "sabotase
administrasi" di kantor-kantor pemerintahan, yang dengan demikian roda
pemerintahan tidak atau kurang berputar bahkan kalau mungkin diputar ke
belakang. Untuk keperluan ini,
pegawai-pegawai negeri peninggalan Hindia Belanda harus dihubungi dengan
janji-janji yang indah. Sudah beberapa kali beradu kereta api, sehingga
lokomotif tua yang memang sudah kurang tenaga menjadi bertambah kurang, karena
kehancuran akibat terjadinya peraduan yang mungkin sekali diatur oleh
kakitangan (spion) Sekutu.
Sekalipun pihak Ulama PUSA/Pemuda PUSA yang
telah melakukan pemberontakan politik terhadap Jepang, yang dalam hal melawan
Jepang sama tujuan dengan sementara mereka yang telah menjadi "kakitangan
Sekutu", namun dalam usaha mencapai tujuan dalam banyak hal berbeda
tindakan. Pihak PUSA/Pemuda PUSA berpendapat bahwa "kereta api" yang
hanya satu-satunya alat perhubungan yang masih ada pada waktu itu, harus
diselamatkan untuk kepentingan ekonomi rakyat umum, apalagi Jepang sendiri
tidak banyak mempergunakan kereta api untuk gerakan militer. Menurut
PUSA/Pemuda PUSA bahwa yang perlu di "sabotase" yaitu "sarana
militer" baik sarana komunikasi maupun sarana perbentengan.
Dalam gerakan yang betujuan satu, tetapi
berbeda jalan, Atjeh Sinbun oleh masing-masing dapat dipergunakan menjadi
sarana penyalur berita-berita palsu, surat-surat buta dan karangan-karangan
yang bertendensi mengunggulkan Sekutu atas Jepang, bahkan juga sering bertujuan
memfitnah golongan yang dianggapnya membantu Jepang. Dalam hal ini, yang agak
lucu yaitu bahwa dua golongan yang telah menjadi "musuh Jepang" juga
menjadi musuhnya satu terhadap lainnya.
Di sinilah terletak kelemahan "gerakan
perlawanan" mereka. Mungkin karena sebab ini dan mungkin pula karena
kurang licinnya mereka, akhirnya "gerakan bawah tanah" sementara
orang yang menjadi "kaki tangan Sekutu" mengambang ke atas oleh
kecerdikan "Intelijen Jepang" di bawah pimpinan Kapiten Sato. Akibat
lanjutan, sejumlah anggota "gerakan bawah tanah" tersebut dan
pengikutnya ditangkap Kempetai Jepang. Para tokoh kaki tangan Sekutu yang
ditangkap kemudian dihukum mati tidak diketahui sampai sekarang di mana
kuburnya. Pada saat-saat seperti yang tertera di atas, di mana dua kelompok
yang sama-sama menentang Jepang tetapi bermusuhan satu sama lain, kedudukan
A.Hasjmy, Amelz, T.Alibayah Talsya dan lain-lain di Atjeh Sinbun memang sulit.
Kalau kurang hati-hati bisa saja menjadi "mangsa" Kempetai, apalagi
hampir menjadi pengetahuan orang ramai bahwa kami adalah Kelompok Pemberontakan
Politik. K.Yamada-san yang menjadi atasan mereka, sebenarnya mengetahui posisi
mereka yang demikian, tetapi dibiarkan saja, karena dia sendiri pada hakekatnya
adalah "Pemberontak Politik" terhadap Pemerintah Militer Jepang.
Di samping itu, dengan Sato-san, kepala
Intelijen Jepang untuk Aceh dan Wakil Komandan Militer (Kemptai-co) yang
terkenal dengan nama hebatnya "Si Balok" (kayu broti) karena besar
dan tegap badannya memberi kemungkinan bagi kami untuk dapat melewati
jurang-jurang yang berbahaya dengan selamat, bahkan sampai akhir pendudukan
Jepang di Aceh kami (A.Hasjmy, Abdullah Arif, Teuku Alibasyah Talsya, Ridwan
dan Syarif Alimy) dapat menguasai Atjeh Sinbun dengan percetakannya, yang
kemudian menjelma menjadi Harian Semangat Merdeka.
2.6 Perang Bayu
Sebagian para ulama Aceh non PUSA yang
sejak semula menentang kerjasama dengan Jepang, dengan semboyan mereka yang terkenal
"Talet bui tapeutamong asee" (mengusir babi, menerima anjing),
terpengaruh benar dengan "pemberontakan politik" yang dilakukan para ulama PUSA/Pemuda PUSA pada awal sejarah pendudukan Jepang
di Aceh, sehingga mendorong mereka melakukan "oposisi keras" terhadap
tentara pendudukan Jepang dengan melakukan "pemberontakan bersenjata"
yang cukup memusingkan Jepang.
Pemberontakan bersenjata yang dilakukan
sebahagian para ulama non PUSA memperkuat alasan bagi PUSA/Pemuda PUSA dalam
hal tuntutannya agar Jepang memberi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, dan
khusus di Aceh agar Jepang memberi kesempatan yang luas kepada para ulama dalam
pemerintahan, sebagai langkah awal ke arah pemberian kemerdekaan. Tuntutan ini,
sebahagian berhasil, antara lain dengan pembentukan "Mahkamah Syari'ah di
seluruh Aceh, yang dipimpin dan anggota-anggotanya dipercayakan kepada para
ulama, sementara sebahagian pimpinan "Pengadilan Negeri" juga diberi
kepada para ulama. Disamping itu, sebahagian besar para pemuda
PUSA/Kasysyafatul Islam diterima untuk dilatih menjadi perwira dalam organisasi
ketentaraan "Gyugun" dan "Tokubetsu".
Di antara para ulama non PUSA yang
terdorong oleh "Pemberontakan Politik" PUSA untuk cepat bertindak
melakukan "Perang Jihad" terhadap Jepang, yaitu Teungku Abdul Jalil,
seorang ulama yang masih muda, yang berasal dari Buloh Blang Ara, Lhokseumawe.
Beliau termasuk di antara anak-anak orang Aceh yang mau belajar pada
"sekolah kafir" yang didirikan Belanda," yaitu Volkschool tiga
tahun. Setamat dari "sekolah kafir" itu beliau belajar pada berbagai
dayah yang dipimpin oleh ulama non PUSA.
Mula-mula Abdul Jalil belajar pada dayah
yang dipimpin Teungku Muhammad Amin Jumphoh (dalam Kabupaten Pidie), kemudian
melanjutkan pada Dayah Krueng Kale, salah satu Pusat Pendidikan Islam terkenal
di Aceh Besar, yang dipimpin oleh Teungku Haji Hasan Krueng Kale. Dari Dayah
Krueng Kale, Abdul Jalil pindah ke Dayah Cot Plieng Bayu (Lhoksukon, Aceh
Utara) yang dipimpin Teungku Ahmad. Di Cot Plieng Bayu, Abdul Jalil di kawinkan
dengan Teungku Asiah puteri Teungku Ahmad, yang kemudian beliau menggantikan
mertuanya untuk memimpin Dayah Cot Plieng, sebagai Teungku Chik.
Baik Teungku Muhammad Amin Jumphoh, maupun
Teungku Haji Hasan Krueng Kale dan Teungku Ahmad, ketiga mereka termasuk dalam
kelompok ulama non PUSA, yang disebut "Kaum Tua", sementara ulama
PUSA disebut "Kaum Muda". Memperhatikan latar belakang pendidikannya
dengan ulamaulama yang menjadi gurunya, adalah suatu hal yang wajar kalau Teungku
Abdul Jalil kemudian menjadi seorang ulama Aceh yang sangat fanatik dan anti
"kafir" baik "kafir Belanda" maupun "kafir Jepang".
Adalah suatu hal yang logis, kalau sejak semula beliau tidak menyetujui
"kerjasama" dengan Jepang, sekalipun untuk tujuan mengusir
"kafir Belanda", yang oleh para ulama PUSA/Pemuda PUSA dipandang sebagai
"taktik perjuangan".
Suatu perbedaan yang sangat mendasar antara
ulama PUSA/Pemuda PUSA yang disebut "Kaum Muda" dengan ulama non PUSA
yang disebut "Kaum Tua", yaitu bahwa ulama PUSA/Pemuda PUSA
berpolitik dalam "organisasi yang non politik", sementara ulama non PUSA
pada umumnya tidak berorganisasi dan tidak berpolitik sama sekali, sehingga
mereka tidak mempunyai pengalaman dan pandangan politik. Perbedaan yang
mendasar inilah yang menyebabkan adanya perbedaan "ijtihad" dalam
menghadapi Jepang, baik sebelum maupun setelah "Tentara Dai Toa"
mendarat di Tanah Aceh. Suatu hal yang tidak diragukan lagi, behwa kedua kelompok
ulama Aceh itu sama-sama melawan penjajah, baik penjajah Belanda maupun
penjajah Jepang.
Dengan mengetahui perbedaan yang mendasar ini,
maka ariflah kita mengapa pada awal sejarah pendudukan tentara Jepang di Aceh ulama
PUSA/Pemuda PUSA melakukan "Pemberontakan Politik" terhadap Jepang,
sementara Teungku Abdul Jalil dan kawan-kawan yang Ulama non PUSA terus
mengadakan persiapan-persiapan ke arah "pemberontakan bersenjata". Sesuai
dengan keyakinan yang demikian, maka Teungku Abdul Jalil dan kawan-kawan dengan
diam-diam (pada tahap pertama) mengadakan dakwah "anti Jepang" dan
seruan "jihad fi sabilillah", dari desa ke desa dalam Kabupaten Aceh
Utara. Menjelang akhir tahun 1942, dakwah diam-diam ini berobah menjadi
"dakwah terangterangan", setelah kekejaman tentara Jepang menjadi
kenyataan yang pahit dan setelah keluar anjuran/perintah "kirei"
(hormat) kepada Tenno Heika dengan menghadap ke Tokyo.
Para muridnya di Dayah Cot Plieng Bayu
menjelang akhir tahun 1942 telah matang untuk terjun ke dalam "jihad fi
sabilillah" sementara sebahagian rakyat umum di sekitarnya telah mulai
matang untuk suatu gerakan bersenjata, dan pada saat itu pihak intelijen dan
Kempetai puntelah mengetahuinya.
Pihak Jepang tentu berusaha untuk
memadamkan api yang belum menyala itu, antara lain dengan mempergunakan
aparatnya yang orang Aceh, yaitu para Hulubalang yang telah diangkat menjadi
Gunco (Wedana) dan Sonco (Camat), yang mau tidak mau, suka tidak suka,harus
melaksanakan permintaan Penguasa Jepang itu. Ulama PUSA/Pemuda PUSA yang dengan
cara halus diharapkan oleh Jepang untuk melakukan "Dakwah Tandingan"
terhadap Teungku Abdul Jalil, dengan halus pula tidak melakukan harapan Jepang
itu, sekalipun tidak menolak. Para Ulama PUSA/Pemuda PUSA bersikap melihat
saja, dan mungkin barangkali hatinya menyetujuinya. Dalam rangka penolakan
dengan halus ini A.Hasjmy dan kawankawan sebagai "Orang Atjeh Sinbun"
tidak melakukan tugas Jepang
untuk pergi ke Bayu
Lhoksukon, bersama Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH guna ikut kampanye
menghentikan "gerakan Teungku Abdul Jalil".
Usaha para Hulubalang (Gunco dan Sonco)
untuk membujuk Teungku Abdul Jalil agar mengurungkan niatnya yang hendak memberontak
terhadap kekuasaan Jepang tidak berhasil sama sekali, sehingga akhirnya Jepang
mengambil keputusan untuk menumpas "gerakan Teungku Abdul Jalil"
dengan kekuatan senjata.
Demikianlah, pada tanggal 6 November 1942
Jepang mengirim pasukannya yang cukup banyak ke Bayu dan dengan cepat membangun
"kubu pertahanan" behadapan dengan "Dayah Cot Plieng" yang
telah menjadi "kubu pertahanan" Teungku Abdul Jaül. Pertempuran tidak
dapat dihindarkan lagi antara dua pasukan yang tidak berimbang persenjataannya,
yaitu pasukan Jepang yang mempunyai persenjataan serba modern dan pasukan
Teungku Abdul Jalil yang hanya mempunyai persenjataan tradisiona), seperti
rencong, keiewang, lembing dan pedang, tetapi ditunjang keimanan yang membaja
dan tawakal kepada Allah Yang Maha Kuasa. Pertempuran yang berlangsung sehari
suntuk, terhenti sejenak pada waktu sore, setelah Teungku Abdul Jalil dan
pasukannya meninggalkan Dayah Cot Plieng menuju pedalaman, dan dalam pertempuran
seru pada hari itu telah meminta korban yang banyak dari kedua pasukan, bahkan
dari pihak Jepang seorang Perwira berpangkat Mayor tewas. Perlu dijelaskan bahwa
Teungku Abdul Jalil dalam memimpin pertempuran dibantu oleh adiknya Teungku
Thaib. Dalam perjalanan mundur, Teungku Abdul Jalil singgah sebentar di
Meunasah Baro, kemudian melanjutkan perjalanan ke pedalaman yang lebih jauh dan
berhenti di Alue Badeeh untuk menyusun kekuatan kembali sambil menunggu pasukan
yang menyusul dari Bayu.
Pada hari Jum'at tanggal 9 November 1942,
Teungku Abdul Jalil dan pasukannya yang telah dibina kembali turun ke Meunasah
Blang Buloh, yang jauhnya dari Bayu sekitar 10 km, untuk melakukan Shalat Jum'at'.
Shalat Jum'at dianggap Jepang satu kesempatan baik bagi mereka. Dari Bayu
Pasukan Jepang yang telah ditambah dan diperkuat menyerbu ke Meunasah Blang
Buloh, kebetulan waktu mereka sampai ke sana upacara Shalat Jum'at baru
selesai. Tentu tidak dapat dielak lagi, bahwa pertempuran terjadi dengan amat
serunya , maksud Jepang hendak menangkap Teungku Abdul Jalil hidup-hidup selagi
Shalat Jum'at tidak berhasil.
Dalam pertempuran yang amat dahsyat, satu
lawan satu, di mana tentara Jepang tidak mungkin mempergunakan senapan/senapan
mesin lagi, hanya mempergunakan bayonet, sementara para mujahiddin hanya menggunakan
senjata sakti rencong. Sungguh pertempuran yang banyak meminta korban di kedua
belah pihak. Serdadu-serdadu Jepang yang bersemangat "jibaku"
berguguran laksana bunga sakura yang berusia singkat dan pasukan Aceh yang
bersemangat "jihad" syahid laksana kembang mawar yang pohonnya
berduri. Setelah Panglima Perang Aceh, Teungku Abdul Jalil syahid bersama
sebahagian besar para mujahiddinnya, maka pada sore hari pertempuran berhenti
dan berhenti pula "Pemberontakan Bayu" yang terkenal itu.
Menurut Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman
TWH (keduanya dari Atjeh Syu Hodoka (Jawatan Penerangan Aceh) yang sengaja dikirim
Jepang ke Bayu sebelum terjadi pertempuran, para mujahidin Aceh yang syahid
memang cukup banyak, tetapi juga tidak kurang banyaknya tentara Jepang yang
gugur, termasuk beberapa orang perwiranya, antaranya seorang Mayor. Kedua orang
tersebut menyaksikan betapa heroiknya pasukan Teungku Abdul Jalil bertempur dengan
persenjataan yang demikian tidak berimbang. Waktu dalam bulan November 1980,
A.Hasjmy bertemu dengan Jenderal Fujiwara di Tokyo, perwira yang telah pensiun
dan tua itu menyatakan kekagumannya yang amat sangat akan keberanian pasukan Aceh
yang dipimpin Teungku Abdul Jalil.
Demikian pula, waktu dalam bulan Oktober
tahun 1981, A.Hasjmy berjumpa dalam satu pertemuan di Tokyo dengan para perwira
Jepang yang pernah bertugas di Aceh, antara lain Sagawa (bekas Kepala Hodoka
Jepang di Aceh), mereka menyatakan kepada A.Hasjmy kira-kira demikian : "Kami
orang Jepang memang dipuji kenekatannya melakukan jibaku tanpa mengenal takut,
tetapi kami rasa bahwa jibaku orang Jepang masih di bawah keberanian orang Aceh
yang kami saksikan dalam Pertempuran Bayu dan Pertempuran Pandrah".
Tentang berapa jumlah serdadu-serdadu
Jepang yang gugur tidak ada data tang pasti, tetapi jumlahnya juga banyak,
mungkin ratusan. Tetapi, menurut keterangan dari berbagai sumber, antara lain
dari Abdurrahman TWH, bahwa para mujahid Aceh yang syahid berjumlah 109 orang,
di antaranya Teungku Muhammad Hanafiah, Teungku Muhammad Abbas Punteut, Teungku
Badai, Teungku Bidin, Teungku Husin Hayim, Teuku Muda Yusuf, Nyak Mirah.
2.7 Perang Pandrah
Pada malam Kamis tanggal 2 jalan 3 Mei 1945
di bawah pimpinan Pang Akob 40 Mujahid Lheu Simpang menyerbu tangsi militer
Jepang di Pandrah, yang kemudian terkenal dalam sejarah "Heroik Rakyat
Indonesia di Aceh" sebagai "Pemberontakan Pandrah". kalau
"Perang Bayu" yang terjadi dalam tahun 1942 dapat disebut sebagai
ucapan "Selamat datang" kepada Balatentara Jepang yang mengandung
peringatan bahwa Rakyat Indonesia tidak bersedia dijajah, maka
"Pemberontakan Pandrah" yang terjadi dalam tahun 1945 dapat dikatakan
sebagai "selamat Jalan" kepada mereka dengan mengandung pesan bahwa
semua penjajah yang berani datang ke Aceh/Indonesia pasti akan disambut dengan
perlawanan bersenjata.
Para ulama/pemimpin yang menggerakkan
semangat rakyat untuk berjihad melawan Jepang pada tahun akhir Jepang menduduki
Indonesia, disamping mempergunakan "alat peledak" ajaran-ajaran Islam
yang anti penjajah, juga mempergunakan suasana yang telah semakin memburuk di
mana keganasan tentara Jepang dalam melaksanakan "kerja paksa" sudah sangat
menyolok, pengambilan padi dari rakyat sangat menekan dan berbagai kejahatan
lainnya yang semakin meningkat. Dalam suasana demikian dan dengan mempergunakan
"alat peledak" ajaran Islam, "gunung api" pemberontakan
sangat mudah meletus. Hal ini berbeda dengan "Pemberontakan Bayu"
pada akhir tahun 1942 yang melulu mempergunakan ajaran Islam sebagai alat penggerak,
karena waktu itu kezaliman Jepang belum banyak yang menonjol.
Para ulama/pemimpin yang menggerakkan
"Pemberontakan Pandrah" antara lain, yaitu Teungku Ibrahim Peudada,
Teungku Pang Akob, Teungku Nyak Isa, Keuchik Usman, Keuchik Johan dan Teungku Abdul
Jalil (bukan Teungku Abdul Jalil Bayu). Kampanye Jihad dilakukan para
ulama/pemimpin tersebut dilakukan siang dan malam dan hasilnya sangat efektif.
Suasana yang sudah memburuk dan ajaran-ajaran Islam menjadi alat kampanye
mereka yang ternyata sangat berhasil.
Dalam keadaan kampanye Jihad sudah membara,
seorang pemuda yang bernama Nyak Umar ditangkap dan dianiaya tentara Jepang, karena
dia membangkan terhadap "kerja paksa". Penyiksaan terhadap Nyak Umar
yang kemenakan Teungku Pang Akob dari kampong Meunasah Dayah, telah memberi dorongan
jihad yang lebih keras lagi kepada pamannya yang memang sedang melakukan
kampanye jihad.
Sebelum pemberontakan dimulai, Teungku Pang
Akob pergi bertapa ke sebuah gua yang terletak di Cot Kayee Kunyet, pegunungan Gle
Banggalang, sementara rakyat kampung Leu Simpang di bawah pimpinan Keuchik
Johan sudah dalam keadaan siap menunggu komando jihad dan pemuda Nyak Umar
dengan menyamar sebagai penjual obat mengadakan kampanye jihad berbisik dari
kampung ke kampung.
Muhammad Daud, seorang pemuda yang melarikan
diri dari pendidikan Gyungun, melatih para calon mujahid yang akan berjihad di Gle
Banggalang. Muhammad Daud meninggalkan tempat latihan kemiliterannya dengan
maksud mengambil bahagian dalam pemberontakan yang segera akan terjadi. Para
ulama/pemimpin yang menganjurkan "Perang Jihad" terhadap Jepang
menyadari bahwa mereka tidak akan memenangkan perang, karena Jepang masih cukup
kuat, namun mereka mengatakan kepada rakyat bahwa yang penting ialah balasan
Allah di akhirat nanti, bukan kemenangan di dunia, penerangan mana diterima
baik oleh rakyat.
Menurut sebuah informasi, bahwa Teungku
Pang Akob belum akan memulai pemberontakan terhadap Jepang "pada tanggal 2
jalan 3 Mei 1945 karena persiapan belum matang betul, tetapi gerakan rahasia mereka
telah diketahui Jepang, dan maka terpaksalah pemberontakan dipercepat. Rahasia
mereka telah dicium oleh Jepang dapat dibenarkan,
karena sebelum awal
Mei itu beberapa petugas Atjeh Syu Hodoka (Jawatan Penerangan Aceh), antaranya
Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahan TWH, telah diberitahu untuk siap-siap
berangkat ke Jeunib dengan tugas memberi penerangan kepada rakyat tentang
maksud Pemerintah Jepang yang akan memberi "kemerdekaan" kepada
Bangsa Indonesia, termasuk Aceh. Kali ini, kami dari Atjeh Sinbun tidak diperintahkan
ke sana.
Tetapi, sebelum Said Ahmad Dahlan dan
Abdurrahman TWH berangkat, pemberontakan telah dimulai pada tanggal 2 jalan 3
Mei 1945, seperti telah dijelaskan di atas. Sungguhpun demikian, kedua mereka
diperintahkan berangkat pada tanggal 3 Mei 1945 dengan tugas untuk memadamkan
"api pemberontakan" yang telah menyala. Dalam pertempuran pada malam
tersebut, yaitu penyerbuan terhadap "tangsi militer Jepang" di Pandrah,
tidak ada para mujahidin yang syahid, sementara tentara Jepang tewas semuanya
kecuali satu orang yang dapat melarikan diri ke Jeunib, tempat induk
pasukannya. Adapun tujuh orang Gyugun yang berada dalam "Tangsi Pandrah"
tidak di apa-apakan. Ada kemungkinan antara para mujahidin yang menyerbu dan
para Gyugun yang di dalam telah ada kontak lebih dahulu.
Setelah penyerbuan,
para Mujahidin mengundurkan diri kembali ke Markasnya di Gle Banggalang untuk
bersiap-siap bagi penyerbuan baru.
Menurut keterangan Said Ahmad Dahlan dan
Abdurrahman TWH, bahwa tentara Jepang tidak segera menyerbu Markas Mujahidin di
Gle Banggalang, tetapi mereka berusaha agar para mujahidin itu bersedia
menyerah dengan baik dengan perjanjian bahwa mereka tidak
akan dihukum. Dalam
usaha membujuk mereka agar bersedia menyerah, bersama-sama utusan lainnya turut
Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH.
Teungku Pang Akob menerangkan kepada
utusan, bahwa mereka akan turun menyerah di Meunasah Lheu Simpang Pandrah pada
tanggal 5 Mei 1945 dan tentara Jepang tidak perlu naik ke Gle Banggalang. Said
Ahmad Dahlan dan Abdurrahman T W H yang menyaksikan
peristiwa
pertempuran 5 Mei 1945 itu, menceriterakan kepada staf redaksi Atjeh Sinbun,
sebagai berikut : Pada pagi-pagi 5 Mei 1945 itu, di Meunasah Lheu Simpang Pandrah
berkumpul para pembesar/perwira Jepang bersama satu pasukan tentara yang dalam
keadaan siap perang, di antara mereka terdapat beberapa pejabat orang Indonesia,
antaranya Teuku Yakub, Guntyo Bireun, Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH,
keduanya dari Atjeh Syu Hodoka.
Berkumpulnya mereka di Meunasah Lheu
Simpang adalah untuk menanti kedatangan Teungku Pang Akob dan pasukannya dalam
rangka penyerahan mereka kepada Jepang, sesuai dengan janji. Para
pembesar/perwira lagi santai duduk di atas Meunasah, sementara pasukan yang
dalam keadaan siap berkeliaran dalam pekarangan Meunasah, tiba-tiba terdengar
membahana suara takbir : Allahu Akbar ! Allahu Akbar! Allahhu Akbar ! yang
terus menerus dan menakutkan. Suara takbir yang demikian gegap gempita membuat para
pembesar/perwira dan pasukan Jepang gugup, kalang kabut dan ketakutan.
Pada saat panik sedang mencekam mereka,
Teungku Pang Akob dengan para mujahidinnya keluar dari "alur yang rimbun
ditutupi daun daun pepohonan" dan menyerbu ke Meunasah, sehingga
terjadilah pertempuran seru, di mana rencong-rencong yang telah keluar dari sarungnya
menancap pada tubuh-tubuh yang masih belum siap untuk mati, tetapi mereka harus
mati juga. Menurut penuturannya, bahwa Said Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH
dapat menyelamatkan diri dan terhindar dari kematian, karena kedua mereka, antara
sadar dengan tiada, lari ke dalam "alur" yang tidak dalam airnya dan
bersembunyi di situ beberapa waktu sampai pertempuran selesai.
Waktu kami keluar dari alur yang berair
siwong (tidak mengalir) itu, di badan kami masing-masing telah bermukim puluhan
lintah yang sudah mulai kenyang, demikian kisah Said Ahmad Dahlan. Selain dari
beberapa perwira dan sejumlah serdadu Jepang yang tewas, juga Guntyo Bireun,
Teuku Yakub, ikut menjadi mangsa rencong hatta mati. Menurut saksi mata, Said
Ahmad Dahlan dan Abdurrahman TWH, memang banyak Jepang yang tewas, jumlahnya
puluhan sekalipun mereka tidak mengetahui angka yang pasti. Setelah kedua
petugas "Hudoka" itu keluar dari "alur" tempat persembunyiannya,
mereka melihat di samping tubuh-tubuh Jepang yang bergelimpangan, juga mereka
menyaksikan jasad-jasad para mujahidin yang telah rubuh disambar peluru dan
bayonet Jepang, yang kemudian
diketahui jumlahnya
44 orang.
2.8 Pemberontakan Gyugun
Penyerbuan terhadap "Tangsi
Pandrah" dan pertempuran dahsyat yang terjadi di Meunasah Lheu Simpang,
sangat memarahkan Jepang sehingga pada hari-hari berikutnya mereka melakukan
penangkapan sewenang-wenang terhadap rakyat dalam kecamatan Jeunib, yang menurut
dugaan mereka tersangkut dalam "Pemberontakan Pandrah". Para mujahid
yang ditawan Jepang itu, sebahagiannya, setelah melalui proses pemeriksaan dan
penyiksaan, dibebaskan kembali dalam keadaan yang sudah amat parah. Adapun
teman-temannya yang berjumlah 24 orang diangkut ke Medan. 12 orang di antara
mereka tidak lagi diperiksa, tetapi terus dilaksanakan hukuman mati di sana.
Mereka yang dihukum mati itu, yaitu :
Teungku Abdul Wahab Ali , Teungku Usman Yusuf, Teungku Muhammad Yakub, Teungku
Abu' Thalib, Teungku M. Hamzah, Teungku M.Husin Bungong, Teungku Agam Cut, Teungku
Abdullah, Teungku Harun, Teungku Husin bin Pawang Usman, Teungku Abdullah
Jeumpa Sikureung dan Teungku Abdul Jalil Pang. Adapun teman-temannya yang 12
orang lagi dihukum penjara antara 5 sampai dengan 12 tahun dan dikurung dalam
penjara Pematang Siantar. Enam orang di antara mereka yang meninggal dalam
penjara karena penganiayaan yang berat, yaitu Teungku Thalib Beungga,
Teungku Badal Husin
Peusangan, Teungku Muhammad Aji Yusuf dan Teungku Uyasa Yusuf. Eanam orang lagi
yang masih hidup dan pulang ke Aceh setelah Jepang kalah, yaitu Teungku Yahya,
Keuchik Muhammad Ali , Teungku Muhammad Ali Tineubok, Teungku Isham Banta
Panjang, teungku Ibrahim Beungga dan Teungku Muhammad Hasan Ali.
Adapun Syuhada
(para pejuang yang tewas) dalam pertempuran tanggal 5 Mei 1945 di Lheu Simpang (Pandrah),
Teungku Siti Aminah, Teungku Ibrahim Meulaboh (suami Siti Aminah), Teungku
Mahmud' Ben, Teungku Ismail Rahman, Teungku Sabon Piah, Teungku Usman Lheu,
Teungku Muhammad Adam Rifin, Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Muhammad Yusuf
gagap, Nyak Abu Bakar Amin, Teungku' Muhammad Amin, Teungku Mat Kasim, Teungku
Meulaboh, Teungku Muhammad Hasan Banta, Teungku Sueiman Ali , Teuku Nyak Isa, Teungku
Kasim, Teungku Muhammad Yakob, Petua Jalil, Teungku Muhammad Yusuf bin Dayah,
Teungku Jalil Ben, Keuchik Johan, Abu Keuchik Lheu, Muhammad Gam, Teungku Saleh
Ismail, Teungku Ismail Ahmad, Teungku Mahmud bin Abdurrahman, Teungku Ahmad
Itam, Teungku Ibrahim Ali , Nyak Umar Adam, Teungku Abdullah Ben, Teungku
Sulaiman Lheu, Teungku Ahmad Gampong Blang, Teungku
Ahmad Usman,
Teungku Ibrahim Yusuf, Teungku Ismad Rifm, Teungku Abdullah Gampong Blang, Teungku
Saleh ben Tulot, Teungku Ibrahim Husin, Teungku Su'ud Trienggadeng, Teungku
Saleh Gampong Blang, Teungku Nyak Zulkifli Yusuf, Teungku Saleh bin Abdurrahman
dan syuhada ke-44, yaitu bayi dalam kandungan Siti Aminah.
Pemberontakan Gyugun Telah dimaklumi bahwa
dalam pembentukan "Gyugun" di Aceh
Jepang tidak begitu
sulit mendapat pemuda-pemuda untuk menjadi anggota organisasi ketenteraan tersebut,
golongan-golongan yang bertentangan yang dihasilkan "politik adu
domba" Belanda saling lomba memasukkan pemuda-pemuda pihaknya ke dalam
organisasi Jepang itu.
Hulubalang maupun Ulama PUSA/Pemuda PUSA
yang telah secara aktif membentuk "Gyugun" dengan menyerahkan para
pemudanya masing-masing, tentu kemudian dipelihara tetap adanya kontak antara mereka
dan para pemudanya itu, baik untuk menyampaikan pesan-pesan missi masing-masing
maupun untuk keperluan-keperluan lain. Kalau para Ulama PUSA/Pemuda PUSA telah
memutuskan untuk melakukan "pemberontakan politik" terhadap Jepang,
maka keputusan tersebut harus dimengerti oleh para pemudanya'yang telah
ditempatkan dalam Gyugun. Demikian pula sebahagian Hulubalang yang telah ikut dalam
"gerakan bawah tanah" Sekutu, berusaha agar para pemudanya dalam
Gyugun memahami missi yang mereka jalankan.
Dengan latar belakang ini, dan ditambah
lagi dengan perlakuanperlakuan jelek dari para pelatih Jepang terhadap
anggota-anggota Gyugun, maka dalam tahun 1944 timbullah perasaan tidak senang
yang meluas dalam kalangan Gyugun terhadap Jepang. Perasaan tidak senang
kemudian menjelma menjadi "sikap melawan" terhadap para perwira
Jepang yang melatih mereka. Akibatnya, di berbagai tempat pendidikan/latihan
Gyugun terjadilah
perkelahian
perorangan antara "pelatih" dan anggota Gyugun, kadangkadang perkelahian
"kelompok pelatih" dengan kelompok Gyugun.
Dalam bulan November 1944, "sikap
melawan" berobah menjadi "pemberontakan" di Tangsi Gyugun Jangkabuya,
dalam bentuk minggat dari induk dengan membawa senjata.
Tiga orang perwira
Gyugun dari Tangsi Jangkabuya, yaitu Teuku Abdulhamid, Teuku Muhammad Ali dan
Hasan Ismail memimpin peminggat tersebut dan melarikan diri ke daerah
pegunungan. Dari kenyataan kemudian, dapat disimpulkan bahwa gerakan pemberontak
Gyugun Jangkabuya belum matang betul, kelihatannya mereka tidak/kurang mengadakan
kontak dengan para Gyugun di Tangsi-Tangsi yang lain.
Kekurang matang "gerakan
pemberontak" mereka terpahami dari penyerahan mereka kepada Jepang,
setelah pihak penguasa Jepang mengancam akan membunuh ahli famili mereka kalau
mereka tidak menyerah. Sungguhpun gerakan tidak berhasil sebagai suatu
pemberontakan, namun peristiwa tersebut mempunyai arti yang sangat penting bila
dirangkaikan dalam mata rantai Pemberontakan Rakyat Aceh terhadap lepang,
bahkan Pemberontakan Gyugun Jangkabuya itu telah membuat sistem pertahanan
Jepang menjadi lemah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada tahun 1942 Jepang mendarat
di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh karena pada waktu itu antara Belanda
dan Jepang sating bermusuhan, dan orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan
membantu mengusir Belanda dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa
Jepang lebih ganas dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang
dan mengangkat senjata memerangi Jepang.
Jepang berada di Aceh hanya 2,5
tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi antara Aceh dengan Jepang.
Diantara sekian banyak perang yang terjadi, ada dua pertempuran yang sulit
untuk dilupakan karena banyaknya korban jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah
(Aceh Utara) dan di Cot Plieng (Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh
dari belenggu perang yang mengenaskan.
Telah menjadi fakta sejarah,
tidak ada penjajah yang baik, yang ada hanya penjajah yang kurang jahat
dibandingkan dengan penjajah yang lebih jahat. Telah menjadi fakta sejarah
pula, tidak ada rakyat terjajah yang rela tanah airnya dijajah. Yang ada hanya
rakyat yang terjajah yang kurang revolusioner perjuangannyamelawan penjajah
dibandingkan dengan rakyat terjajah yang melawan penjajah dengan angkatan
senjata terhadap Jepang di Bayu dan Pandrah.
3.2 Saran
Saran kami sebagai penulis adalah cobalah
untuk kita pahami akan sejarah bangsa Indonesia. kaji kembali tentang sejarah
kesultanan di Aceh dan mencoba menguak kembali di mana peristiwa-peristiwa yang
pernah terjadi di Aceh
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembelajaran
tematik merupakan suatu strategi pembelajaran yang melibatkan beberapa mata
pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Keterpaduan
pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum,
dan aspek belajar mengajar.
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada keterlibatan
siswa dalam proses belajar secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga
siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dan
terlatih untuk dapat menemukan
sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya. Melalui pengalaman
langsung siswa akan memahami
konsep-konsep yang mereka pelajari dan menghubungkannya dengan konsep lain yang
telah dipahaminya. Teori pembelajaran ini dimotori para tokoh Psikologi
Gestalt, termasuk Piaget yang menekankan bahwa pembelajaran haruslah bermakna
dan berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan anak.
Pembelajaran tematik lebih
menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by
doing). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau merancang pengalaman belajar
yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa. Pengalaman belajar yang
menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih
efektif. Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk
skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan.
B.
Saran
Saran kami
sebagai penulis adalah cobalah untuk lakukan dengan baik bagaimana
prinsip-prinsip pembelajaran tematik dan hakikat dari pembelajaran tematik itu
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar